MAKIN SAYANG KOMPASIANA KARENA BERSAMANYA BELAJAR MENGELOLA KECEWA

Sumber gambar : Hassan OUAJBIR dari Pexels

Tak terasa usia Kompasiana melebihi satu dekade dan sebentar lagi merayakan #11TahunKompasiana. Saya sendiri baru bergabung di sana sejak tahun 2016. Jika ditilik dari tahun itu hingga sekarang, saya tergolong penulis “B” saja di sana. Tak mengapa, saya menyadari betul jenis tulisan saya memang bukan tulisan luar biasa, dengan analisis kuat yang menarik minat orang untuk mengikuti tiap-tiap diunggah. Itu yang pertama. Kedua, topik-topiknya pun biasa juga, apa yang saya lihat dan alami sehari-hari saja. Bukan yang sedang trend atau dicari orang, semisal politik atau hal lain yang sedang viral di media sosial. Tak mengherankan jika pengunjungnya masih kisaran puluhan hingga ribuan (yang ribuan hanya beberapa, itu pun mungkin kebetulan). Ketiga, saya tak terlampau rajin menulis dan bertandang ke "rumah" Kompasianer lainnya. Tidak aneh jika yang mengenal saya pun sedikit saja selama #BeyondBlogging di Kompasiana.
Meski demikian, Kompasiana memang memiliki tempat tersendiri di hati saya. Karena selama #BeyondBlogging disana saya mendapatkan kado istimewa bernama "Bagaimana Cara Mengelola Kecewa".
Oh, ya? Kok bisa?
Seperti halnya Kompasianer lain, saya pun beberapa kali mengikuti lomba yang diadakan Kompasiana. Tidak semua saya ikuti, karena tahu kapasitas diri. Alhasil semenjak bergabung dengan Kompasiana dari tahun 2016, hanya tujuh lomba saja yang saya ikuti. Dari ketujuh lomba itu, saya baru menang sekali, yaitu di lomba Generasi Solutif Kompasiana tahun 2018. Sisanya, lima kalah dan satu masih dalam penjurian.
Jika ditanya apa yang paling menyebalkan dalam kekalahan itu, saya akan menjawab “mengingat usahanya”. Tahu sendirilah kalau mengikuti lomba itu diperlukan riset, wawancara (jika memang diperlukan), menulis sekaligus mengeditnya, hingga memilih foto pendukung terbaik sebelum mengunggahnya. Rentetan semacam itu terkadang tak selesai dalam sekali waktu. Akan tetapi, bisa berhari-hari. Tujuannya tak lain demi membuat satu tulisan yang apik, baik, informatif, dan sesuai dengan tema.
Tak heran jika rasa sedih dan kesal itu datang sewaktu tahu jika diri ini tak tercantum sebagai pemenang. Saking kesalnya sampai ingin menggigit beling! Ah, tapi masalahnya saya ini bukan anggota kuda lumping atau debus. Kalau nekat makan beling apa tidak luka semua mulut saya? Kalau sudah begini yang repot akhirnya saya juga. Sudah nggak bisa makan dan minum dengan sempurna, masih ditambah bea pengobatan pula. Maka itu bagian gigit-menggigit beling itu hanya menjadi “ungkapan saja”. Sekedar menunjukkan seberapa tinggi tingkat kekecewaan saya.
Repotnya, jika sudah kecewa tak mudah juga menghilangkannya. Tak jarang situasi ini menurunkan semangat dalam diri. Kalau ada info lomba lagi bukannya langsung bergerak dan menulis, yang dilakukan justru melengos sambil berucap “Ck, buat apa capek-capek ikut lomba kalau akhirnya kalah juga. Huh!”. Hayo, pernah ada yang begitu 'kan waktu mengalami kekalahan? Hahaha, high five dululah kita!
Hanya saja kemudian saya menyadari satu hal. Kekalahan itu adalah kado yang besar. Secara tak langsung saya diajak terus-terusan belajar. Tidak hanya soal kepenulisan-mulai dari tata kalimat hingga letak tanda baca saja, tetapi juga soal mengelola kekecewaan. Boleh saja kecewa, akan tetapi tak lantas mutung dan berhenti berusaha. Kalah bukan berarti tulisan kita tak baik. Hanya saja, ada yang jauh lebih baik lagi. Ya dari segi rapinya tulisan, ya dari isinya yang bernas di mata para juri.
Ada bagusnya juga jika kemudian kita mempelajari seperti apa hasil tulisan si pemenang lomba. Bukan untuk dicari kesalahan dan dinyinyiri, namun dilihat dan diamati seperti apa keistimewaannya. Lalu memakai formulanya untuk memenangkan lomba. Jika kemudian belum menang, hanya satu hal penyebabnya : B-E-L-U-M R-E-J-E-K-I!
Yah, kok jawabannya gampang banget? Yang lebih dalamlah analisanya. Bukan yang dangkal macam itu.
Ah, saya tak pandai menganalisa. Bagi saya kalau  semua usaha sudah dilakukan, tetapi belum menang berarti rejeki tersebut belum berpihak pada kita. Kalau memang rejeki pasti takkan kemana, sebagaimana ungkapan bijak yang kerap disebut orang tua.

Sumber gambar : Pixabay

Lantas apa yang harus dilakukan agar tak berlarut-larut dalam kecewa? Berikut ini empat cara yang bisa dilakukan untuk mengelola kecewa :
1.       Kelola harapan kita
Berharap menang boleh, akan tetapi tak perlu berlebihan, karena harapan yang berlebihan inilah yang acap menjadi pangkal kekecewaan. Usahakan saja semua sebaik-baiknya, jangan lupa berdoa, akan tetapi taruhlah harapan secukupnya. Dengan demikian, secara tidak sadar kita juga mengelola stok untuk menerima kecewa..
2.       Terima dan ikhlaskan
Sesaat setelah mengalami kekalahan, biasanya perasaan campur aduk tak karuan. Tak apa, itu manusiawi adanya. Akan tetapi, jangan berlama-lama karena itu tidak akan mengubah apa-apa. Di saat seperti ini yang perlu kita lalukan adalah memberi waktu pada diri sendiri untuk menerima dan mengikhlaskan. Awali langkah ini dengan cara sederhana, tarik napas panjang lalu hembuskan perlahan agar tubuh rileks dan tenang. Selanjutnya luapkan apa yang mengganggu pikiran, bisa pada teman terpercaya atau di buku catatan. Jangan lupa mensyukuri keadaan. Sebab meski kalah sejatinya kita telah memenangkan pertandingan melawan ragu dan kemalasan, sehingga tulisan untuk kompetesi menulis pun terselesaikan.
3.       Belajar dari kekalahan
Kekalahan itu tak mengenakkan memang. Namun, bukan ke sana fokus kita seharusnya diarahkan. Akan tetapi, pada pelajaran bahwa mengikuti kompetisi (apapun namanya) tak melulu soal menang dan kalah saja. Dilihat dari sudut pandang positif kekalahan sesungguhnya membantu kita menjadi orang yang lebih baik lagi di masa datang. Darinya kita bisa belajar di mana letak kekurangan dan kelebihan, lalu memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan sekaligus mengasah mental. Jadi kata siapa jika kekalahan tak dibutuhkan?
4.       Move on
 Kita sudah kalah sekarang, tetapi bukan berarti kita juga kalah di masa depan. Maka ini saatnya move on dan meletakkan kekalahan itu di belakang. Tata ulang tujuan. Bukan lagi menang yang jadi haluan, tetapi memperbaiki kualitas tulisan. Dengan semakin baiknya tulisan, bukan tidak mungkin kitalah esok yang jadi pemenang.

Nah, itulah cara mengelola kecewa, “kado” yang saya terima selama menulis di Kompasiana dan membuat saya makin sayang dengannya. Kalau kalian bagaimana? Apa yang bikin kalian makin sayang padanya? Apakah keramahan para penulis di sana, memenangi banyak lomba, atau malah sebab lainnya? Tuliskan saja ungkapan hatimu untuk merayakan #11TahunKompasiana, sebagai hadiah kecil baginya.
Salam.

Komentar

Posting Komentar