#lniUntukKita-Babat Perilaku Konsumtif Milenial dengan Literasi Ekonomi

 

Sumber gambar: Gustavo Fring dari Pexels

Generasi milenial umumnya lahir antara tahun 1980 hingga tahun 1995. Berbeda dari pendahulunya, generasi baby boomer, kaum milenial dibesarkan di tengah kemajuan teknologi. Tidak mengherankan bila teknologi selalu ada dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

Hal ini pula yang menjadikan pola pikir generasi milenial berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih kritis, open minded, berani, dan menjunjung tinggi kebebasan. Kemampuan untuk multi tasking dalam bekerja juga menjadi keunggulan  generasi milenial. Selain itu mereka juga dikenal kreatif, cepat tanggap, dan mudah beradaptasi menghadapi berbagai perubahan.

Namun, disamping hal-hal positif tersebut kaum milenial memiliki sisi negatif. Mereka dinilai sebagai generasi yang lebih konsumtif. Dikutip dari CNN (1/9/2020), salah satu hal yang mempengaruhi menurut Ben Subiakto adalah budaya digital dan penggunaan internet. Kaum milenial tidak hanya menggunakannya untuk bekerja dan berkomunikasi, tetapi  juga bersenang-senang di saat bersamaan. Dari mulai mendengarkan musik, menonton film, atau melakukan berbagai transaksi online seperti  memesan tiket untuk jalan-jalan, belanja makanan, pakaian, hingga kebutuhan sehari-hari.

Kemudahan melakukan transaksi daring ini membuat mereka bisa berbelanja atau memesan tiket ke berbagai tujuan wisata kapan saja dan di mana saja. Tidak terbatas oleh waktu serta tempat. Selain itu, sistem kredit yang lebih mudah juga menjadi faktor pendorong lainnya.

Influencer berpengaruh terhadap preferensi belanja milenial 
(Mateus Campos Felipe dari Unsplash).

Hal lain yang turut berpengaruh adalah influencer di media sosial. Ketika influencer yang diidolakan menggenakan suatu barang, entah beli sendiri atau hasil endorsement, akan mendorong kaum milenial untuk memilikinya pula. Bagi mereka apa yang dilakukan para influencer di media sosial memiliki dampak lebih besar terhadap preferensi suatu barang ketimbang iklan yang tayang di televisi nasional.

Selain influencer, apa yang diunggah kawan di media sosial juga menjadi alasan bagi mereka untuk berlaku konsumtif. Keinginan untuk meniru atau setidaknya menyamai gaya hidup yang tinggi mampu mendorong seseorang untuk membeli sesuatu, walaupun tidak dibutuhkan.

Misalkan si A baru saja membeli sepatu dan baju merk tertentu berharga puluhan juta yang dipamerkan lewat Instagram. Tak ingin ketinggalan jaman, si B yang melihatnya ikut-ikutan membeli juga. Ketiadaan uang tunai tak jadi soal baginya, ia masih memiliki kartu kredit yang bisa digesek kapan saja. Meskipun kemudian bisa berdampak buruk bagi keuangan jika terus dilakukan secara serampangan. 

Lain hari, si A mengunggah kafe baru yang tengah menjadi perbincangan. Tak mau ketinggalan hal-hal yang viral membuat si B bergegas pergi ke sana. Meskipun harus menguras kantongnya untuk sekadar minum dan panganan kecil.

Perilaku konsumtif semacam ini tak urung menyebabkan tidaknya sehatnya keuangan milenial. Ditandai dengan habisnya uang sesaat setelah gajian, juga banyaknya cicilan yang harus dilunasi untuk mengongkosi gaya hidup tinggi. Akibatnya besar pasak daripada tiang. Dibandingkan pendapatan, uang yang dikeluarkan jauh lebih besar.

Untuk itu seseorang bisa gali lubang tutup lubang, meminjam dana dengan besaran tertentu untuk menutupi hutang lainnya. Bahkan saat kepepet pinjaman online yang mencekik leher pun diiyakan, agar bisa melunasi hutang. Meskipun pada akhirnya hal ini justru menjerumuskannya ke jurang utang yang lebih dalam.

Lalu bagaimana caranya membabat perilaku konsumtif semacam itu?

Melek literasi ekonomi adalah jawabannya.

Mengapa demikian?

Karena minimnya literasi ekonomi menjadikan seseorang kesulitan membuat keputusan keuangan yang baik. Akibatnya ia kurang mampu dalam mengendalikan kebutuhan dan keinginannya.

Dengan literasi ekonomi seseorang akan memahami bahwa :

1.      Sumber daya produktif itu memiliki keterbatasan.

Oleh sebab itu, tidak bisa memiliki semua barang dan jasa yang diinginkan. Dengan demikian ia harus pandai memilih mana yang penting dan mana yang tidak.

2.      Alokasi dan pengelolaan sumber daya berdasarkan skala prioritas

Penentuan skala prioritas bertujuan untuk memperoleh output optimal dengan sumberdaya yang ada. Misalkan Melati berkunjung ke sebuah pusat perbelanjaan. Banyak barang yang diperjualbelikan di sana seperti baju, sepatu, tas, aksesories, gadget, dan lain-lainnya. Masing-masing menawarkan diskon menggiurkan.

Jika menuruti keinginan, Melati ingin membawa semuanya pulang. Akan tetapi, mengingat dana yang terbatas Melati tak bisa melakukannya. Nah, dalam situasi semacam ini Melati bisa memilih barang yang hendak hendak dibeli berdasarkan skala prioritas. Jika yang lebih dibutuhkan adalah sepatu, maka itulah yang dibeli terlebih dahulu. Bukannya tas, baju, aksesories, atau malah gadget.

Bagaimana jika ternyata Melati masih memiliki cicilan yang belum dibayarkan?

Batalkan pembelian sepatu dan pergunakan uangnya untuk membayar cicilan terlebih dahulu.

Memiliki anggaran keuangan itu penting (Karolina Grabowska dari Pexels).

Alangkah baiknya sebelum melakukan transaksi pembelian, kita sudah memiliki anggaran keuangan. Tempatkan pos-pos penting seperti bayar kosan (jika nge-kos), biaya makan, transportasi, dana darurat, asuransi kesehatan, dan hutang di awal. Penuhi terlebih dahulu hal-hal tersebut, baru merambah kepentingan sekunder lainnya seperti baju, sepatu, tas, aksesories.


Jika dana tidak mencukupi untuk membeli keperluan sekunder, apa yang harus kita lakukan?

Menabung adalah pilihan yang tepat, ketimbang meminjam. Alokasikan  minimal 10% dari gaji untuk disisihkan setiap bulan. Jangan usik dana darurat yang ada untuk keperluan sekunder. Bongkar dana darurat untuk keperluan mendesak semacam membetulkan kendaraan bermotor atau biaya rumah sakit.   

Lebih baik menabung ketimbang berutang demi membeli barang 
(Michael Longmire dari Unsplash)


Mengapa berutang atau meminjam uang tidak disarankan?

Sebab berutang tanpa perhitungan matang berpotensi memporak-porandakan keuangan, terutama di tengah pandemi seperti sekarang. Di mana banyak orang kesulitan keuangan karena imbas Covid-19.

Kalaupun berutang, harusnya digunakan untuk sesuatu yang produktif. Misalnya untuk menambah modal usaha, membuka usaha baru, hingga kendaraan operasional yang digunakan untuk usaha. Itupun ada syaratnya, yaitu:

a.  Memiliki sumber pendapatan jelas setiap bulan
b.   Alokasi dana yang cukup untuk membayar hutang

Penting untuk berhitung berapa proporsi hutang dengan pendapatan setiap bulan sebelum berutang. Pastikan nilainya tidak melebihi 30 persen dari total pendapatan.

Nah, itu tadi sekelumit tulisan tentang bagaimana mem-“Babat Perilaku Konsumtif Milenial dengan Literasi Ekonomi” kawan-kawan. Semoga bisa membawa manfaat, terutama mereka yang tengah berjuang untuk merdeka secara finansial. Tak lagi dihantui buruknya keuangan karena mengejar gaya hidup tinggi, yang mendorong kita untuk "Besar pasak daripada tiang".

 

 

Komentar

  1. Betuk, melek literasi finansial butuh banget. Ngga cuma bagi kaum milenial, bahkan ibu-ibu rumah tangga butuh memahami seluk beluk finansial. Agar mampu mengelola keuangan dengan bijak, syukur-syukur bisa berinvestasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Dan ini tuh nggak bisa sekali dikasih tau langsung ngerti. Harus dibiasakan. Sehingga mereka paham bener penerapannya.

      Hapus
  2. PR banget Kak buat nabung ancene, tapi kok ya nabungku kalong melulu wakakaka bocorrr. Makasih kak tipsnya 💞💞💞

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahaha itu sudah, Nyi. Problem banyak orang sebenarnya. Nabung tapi bocor.

      Hapus
  3. Berutang atau meminjam uang kalau dibiasakan bahaya, akan terus kepenginnya menutupi kebutuhan dengan cara itu ya Mbak. Bahkan yang dari generasi baby boomers macam saya ini harus waspada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget Mbak, dikit-dikit lama-lama jadi bukit. Dan iki kerapkali tidak terasa sampai kita terjerat olehnya dan nggak bisa bernapas.

      Hapus
  4. Menentukan skala prioritas ini yg susah saya terapkan. Kadang suka hanya karena menggemaskan lalu beli. Padahal ga butuh.
    Susah banget itu menghilangkannya...

    Literasi ekonomi ini emang harus diterapkan sejak dini deh ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha itu mbak melek literasi ekonomi memang nggak bisa kaya niup balon. Perlu belajar kebiasaan baik ini sejak dini.

      Hapus
  5. Jadi kebiaan konsumtif ini juga multifactor ya kak, terutama kalau melihat idola spt influencer bawaanya ingin mengikuti gayanya. Nah jd penting sekali buat milenial melek literasi ekonomi ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha, iya. Kadang kita tergiur begitu melihat apa yang dipakai influencer idola. Padahal kemampuan jauh sekali dibandingkan dia. Akhirnya besar pasak daripada tiang.

      Hapus
  6. bener nih, literasi keuangan tuh harus diajarkan seharusnya sejak anak-anak masih kecil, jadi akan jadi habit sampai mereka dewasa nanti, lebih baik kalo bisa masuk kurikulum loh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya kita udah belajar lewat pelajaran ekonomi, cuma prakteknya yang belum. Jadinya njomplang. Begitu kelar belajar, ya tetap nggak ngerti.

      Hapus
  7. gue nih dulu konsumtif banget tapi kan toh hasil kerja sendiri yaa, tapi sekarang agak lebih wiser sih ngatur duit keluar masuk tuh demi anak juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi ingat dulu diingatkan Ibu soal ini. Ngerasanya sih, masa aku boros, enggak ah. Padahal iya hahahah

      Hapus
  8. Literasi keuangan ini selayaknya ilmu-ilmu lain. Wajib dipelajari dan diamalkan. Apalah artinya jago secara teori tapi pada prakteknya amburadul. Bakal jadi tantangan besar memang saat mengaplikasikannya apalagi untuk orang-orang yang tergolong boros. Menghentikan kebiasaan bersenang-senang memang lumayan sulit. Tapi semestinya pandemik bisa membantu. Kan nggak ada lagi tuh kebebasan nongkrong di kafe lama-lama. Etapi masih bisa belanja online banyak-banyak ding, ya. Duh tuh kan ... Ada aja alasannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kadang tuh belanja online itu jadi semacam refreshing karena merasa jenuh. Pas belanja sih seneng, abisnya itu langsung dweeeng ... kok dompet sunyi yah, padahal belum akhir bulan, baru terasa kalau itu jadi satu kesalahan dalam mengambil keputusan.

      Hapus
  9. Setuju banget dengan literasi keuangan kita bisa mengekang perilaku konsumtif, sehingga bukan alasan karena di rumah aja malah jadi banyak pengeluaran kan ya

    BalasHapus
  10. Dari tulisan ini, aku suka banget sama poin "Alokasi dan pengelolaan sumber daya berdasarkan skala prioritas" sebagi milenial, kita harus banget tau skala prioritas.

    BalasHapus
  11. Banyak anak muda yang terjebak pada gaya hidup pansos yang konsumtif. Seperti di contoh itu, si A ke kafe X dan Tak lama kemudian B-Z ke sana.

    BalasHapus
  12. Bener banget kaum milenial sekarang memang banyak yang konsumtif Dan Sebagai orang tua hal.ini adalah peerku untuk kedepannya

    BalasHapus
  13. Betul, lebih baik menabung dahulu untuk membeli sesuatu daripada berhutang, agar tidak ada kewajiban di masa mendatang.

    BalasHapus
  14. ini artikelnya informatif sekali buat saya mak emak yg memang dri dulu gak tau ttg perekonomian. hahahhaa. tfs mba

    BalasHapus
  15. dulu waktu aku smp aku minta uang jajannya dikasi mingguan trus meningkat jadi bulanan dan itu nyatanya ngefek banget sekarang jadi bisa mengalokasikan kebutuhan sesuai penghasiln

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha, belajar ngelola keuangan sejak awal bikin kita paham mana pos-pos penting, mana yang bukan.

      Hapus
  16. sampe sekarang aku juga masih terus belajar buat saving dan membedakan mana pembelian yang butuh atau yang lagi pengen, kadang suka tergiur juga

    BalasHapus

Posting Komentar