Mengurangi Konsumsi Gula dan Garam Demi Kesehatan, Awalnya Terpaksa Lama-lama Terbiasa



Terpaksa. Itu yang saya rasakan saat pertama kali mengurangi konsumsi gula dan garam.


Awalnya karena bapak menderita hipertensi dan ibu mengidap diabetes.


Faktor itulah yang  mendorong orahg tua saya untuk mengurangi konsumsi gula dan garam demi kesehatan.


Keputusan itu mengubah banyak hal terkait pola makan. 




Tak ada lagi sirup di kulkas, pun minuman instan dalam kemasan sachet. Kudapan manis, gula-gula, dan makanan instan juga menghilang dari daftar belanjaan.


Minuman manis tentu masuk dalam daftar larangan.


Hal ini tak hanya berlaku pada hari-hari biasa. 


Bahkan puasa pun takjil berupa es, kolak, atau lainnya tak ada. 



Sebagai gantinya cukup meneguk air putih saja.


Pertanyaannya "Masa iya tak pernah bikin kolak atau es teh untuk takjil puasa?".


Jawabnya pernah. Sekadar tamba pingin (obat kepingin). 


Akan tetapi, rasanya ya begitulah. Kadar kemanisannya jauh berkurang. 


Manda-manda kata orang Jawa untuk mengistilahkan makanan atau minuman yang agak manis.


Namun, itu pun bisa dihitung jari. Kebanyakan ya air putih.


Bagaimana dengan garam?


Garam pun demikian. Konsumsinya dibatasi, tak heran jika makanan di rumah kami rasanya hambar.


Tentu saja rasanya aneh. Di awal-awal bahkan saya membubuhkan garam sendiri agar rasa masakan di rumah lebih pas di lidah.


Kalau tidak, selera makan jadi berkurang. Maklumlah belum terbiasa.


Kalau ditanya seperti apa rasanya waktu itu, saya akan menjawab "Bosan!".


Siapa juga yang tak bosan jika rasa masakan tak menerbitkan air liur.


Namun waktu berlalu, saya mulai bisa makan tanpa harus menambahkan garam.


Kalau meninggalkan gula dalam makanan atau minuman, bagi saya tak jadi soal.


Saya memang kurang suka manis. Jadi tak terlampau masalah saat harus mengurangi konsumsi gula demi kesehatan.


Nah, mengurangi konsumsi garam itu yang mulanya jadi pe-er tersendiri.


Lalu bagaimana dengan kedua adik saya? Apakah mereka tak kesulitan dengan program mengurangi konsumsi gula dan garam itu?


Sama saja dengan saya. Tak mudah menyesuaikan diri menikmati makanan yang 'less sugar and salt'.



Terbitnya kesadaran Pentingnya Mengurangi Konsumsi Gula dam Garam 



Setelah ngresula (mengeluh) soal masakan yang hambar di awal,  saya akhirnya tiba pada kesadaran betapa pentingnya mengurangi konsumsi gula dam garam 


Bermula ketika seorang kenalan cerita jika ibunya tidak bisa tarak (berpantang makanan).


Ia selalu mencuri-curi untuk konsumsi makanan atau minuman yang disukainya.


Padahal dokter sudah menyarankan agar beliau mengurangi konsumsi gula dan garam demi kesehatan.


Karena jika tidak akan memperburuk hipertensi dan diabetesnya.


Usut punya usut ternyata di rumah itu hanya ibunya-lah yang harus diet gula dan garam.


Sementara anggota keluarga yang lain tidak melakukannya.


Takaran asin dan manis dalam masakan mereka normal saja, kecuali untuk makanan yang dikonsumsi sang ibu.


Mungkin karena itu beliau merasa terbeban, karena harus diet gula garam sendirian.


Akhirnya diam-diam mencari kesempatan untuk makan makanan orang "N- O- R-M-A-L".


Lalu apa alasan mereka, para orang tua seringkali melanggar anjuran Dokter untuk mengurangi gula dan garam?


Banyak sih. alasannya. Salah satunya merasa "Ah, kan cuma sedikit, masa sih gak boleh?"


Atau "Bosen deh, makanannya tawar. Nggak ada rasanya. Sekali-kali boleh dong nyobain". 


Meskipun akhirnya malah kebablasan, dari nyicip sedikit lama-lama jadi bukit.


Atau jika tidak begitu mereka berpikir "Hidup cuma sekali kok dibikin susah kayak gini. Makan ini gak boleh, itu gak boleh. Ah, udahlah terabas saja".


Lho kok begitu?


Pikiran itu wajar sebenarnya, jangankan mereka. Saya pun sama.


Karena kenyataannya memang tidak enak makan makanan yang terasa hambar itu.

 

Terlebih lidah sudah terbiasa menikmati makan dengan kadar asin dan manis yang dikenalnya selama tahunan.


Tidak mudah mengubah kebiasaan seseorang makan seseorang. Apalagi  dalam waktu singkat.


Butuh penyesuaian hingga diri sendiri menerima hal itu sebagai hal yang lumrah, bukan paksaan lagi.


Saya bisa mengatakan karena tahu rasanya, terpaksa mengurangi konsumsi gula dan garam demi kesehatan orang tua.


Namun, pada akhirnya cerita itu membuat saya tersadar.


Apa yang saya dan adik-adik lakukan itu tak sekadar mengurangi konsumsi gula dan garam pada masakan.


Ada yang lebih besar, yaitu menyokong kesehatan kedua orang tua saya.


Itu yang lebih penting.


Lantas apa sih untungnya satu keluarga jika satu keluarga kompak kurangi konsumsi gula dan garam?


Simak penjelasan berikut.



Untungnya Jika Satu Keluarga Kompak Mengurangi Konsumsi Gula dan Garam 



Ada empat keuntungan jika satu keluarga kompak mengurangi konsumsi gula dan garam,yaitu:

  1.  Karena ada teman terasa lebih ringan


Mengurangi konsumsi gula dan garam meskipun tujuannya demi kesehatan itu tak gampang.


Rasanya pasti berat karena mendadak mengubah kebutuhan gula dan garam dalam makanannya.


Keinginan untuk berhenti pasti ada, apalagi jika melihat orang-orang sekitarnya makan dan minum dengan kadar gula serta garam seperti biasa.


Namun, lain halnya jika satu rumah melakukan diet yang sama.


Rasanya pasti lebih ringan, karena ada teman  saat melakoni diet gula dan garam.


  1. Mengurangi keinginan menikmati makanan yang jadi pantangan


Apa rasanya jika harus makan sesutu yang tak enak, sementara yang lain tidak.


Walau awalnya sanggup bertahan, tapi lama-lama pertahanan pasti bobol juga jika pemandangan macam itu dipertontonkan setiap hari oleh anak, cucu, atau keluarga lainnya.


Karena enggan dimarahi, biasanya mereka memilih makan makanan yang lezat tersebut secara diam-diam.


Berbeda jika satu keluarga melakoni diet yang sama, keinginan untuk cheating itu bisa berkurang.


Lha gimana? Wong makanannya sama.



  1. Lebih konsisten


Karena semua warga di rumah melakukan diet gula dan garam semua, maka umumnya kontrol diri lebih terjaga.


Keinginan untuk melanggar pantangan berkurang.


Secara tidak langsung mereka jadi lebih konsisten mengurangi konsumsi gula dan garam.


  1. Saling mengingatkan


Jika ada yang anggota keluarga yang "lupa", tiba-tiba makan makanan atau minuman dengan kadar gula serta garam yang tinggi bisa saling mengingatkan.


Misalnya yang dilakukan orang tua saya pada saya dan adik-adik.


Mereka nggak pernah lupa mengingatkan pentingnya mengurangi konsumsi gula dan garam.


"Jangan sampai menyesal, nanti seperti bapak dan ibu lho," begitu mereka sering berkata.


Kalau mereka yang kelupaan? Kita ganti yang mengingatkan.


Misalnya saat masak garam atau gulanya berlebihan, kita biasanya langsung mengatakannya agar jadi perhatian.


Lantas bagaimana kondisi saya sekarang? 


Setelah sepuluh tahun lebih terbiasa mengurangi konsumsi gula dan garam, saya merasa baik-baik saja.


Saya yang awalnya terpaksa lama-lama terbiasa.


Saya tidak merasa aneh dengan masakan yang cenderung hambar.


Hanya saja saya jadi merasa asing saat makan di luar.


Seringkali rasanya tak cocok di lidah karena kemanisan atau keasinan. Padahal menurut orang lain rasanya enak.


Lucu ya? Padahal dulu awalnya terpaksa.***



Sumber gambar

  1. Donat

Unsplash/Tijana Drndarski


https://unsplash.com/photos/YC06tYOZqGo


  1. Es teh

Unsplash/shoutout to Food Photographer | Jennifer Palli


https://unsplash.com/photos/sSnCZlEWN5E





Komentar

  1. Toosss, akupun Krn udh lama ngurangin garam, jadi kadang kalo makan di luar, suka merasa asinnya over. Padahal sebenernya pas2 aja :D.

    Aku ngurangin garam dan gula demi kesehatan aja sih mba. Sebelum jadi penyakit macem2, mending diperhatiin dari dini. Kalo manis aku memang ga terlalu suka. Jadi ga terlalu susah menghindarinya. Dan aku udh ga makan nasi putih juga. Untuk Karbo aku ganti Ama kentang kukus. Skr malah udh biasa banget. Malah perut begah dan ga enak kalo makan nasi putih. Nasi merah masih sesekali aja.

    BalasHapus

Posting Komentar