Happiness Itu Menjadi Relawan


Ada banyak cara untuk memperoleh happiness atau kebahagiaan. Tak harus healing keluar negeri yang membutuhkan biaya mahal. Cukup menikmati semangkuk mie hangat di antara derasnya hujan, membaca buku tanpa gangguan, nonton film atau drama kesukaan, atau bertemu teman lama sambil ngobrol segala macam. Kita sudah bisa merasakan happiness.

Namun tak hanya itu yang bisa dilakukan untuk meraih kebahagiaan. Menjadi relawan adalah cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkannya. Dan itulah yang saya lakukan.

Semua berawal ketika ibu meninggal beberapa tahun silam Saat pelayat berdatangan, saya berpikir bahwa kematian itu bisa datang kapan saja. Tak ada yang tahu kapan giliran tiap-tiap manusia. 

"Jika sekarang giliran ibu, bisa jadi giliran saya esok, lusa, atau beberapa tahun lagi. Who knows?" 

Kalimat itu berenang-renang di kepala, sebelum pertanyaan "Lalu apa yang akan saya lakukan sebelum hari itu tiba? Bagaimana pula saya akan menghabiskan waktu hingga Allah memanggil saya ke haribaan-Nya?"

Terbersit di kepala saya untuk menjadi relawan. Namun ragu mengingat saya tak punya kemampuan menjadi relawan kebencanaan. Lalu jadi relawan apa yang sekiranya sesuai dengan ketrampilan saya?

Semesta mendukung. Pertanyaan tersebut terjawab sepulang dari Atambua, usai menghadiri Festival Baca yang diselenggarakan Save The Children di bulan Juli tahun 2016. Saat itu saya mendapatkan informasi tentang Inspirasi Sekolah Literasi (ISL) Batch 3. Ada lowongan menjadi relawan inspirator di sana. Tak pikir panjang saya langsung memberanikan diri mendaftarnya dan terus ikut hingga sekarang.

Jika ditanya apa yang bikin saya rela meluangkan waktu untuk jadi jadi relawan inspirator atau pengajar? Padahal tempat tujuannya acap terpencil dan medannya berat, sudah itu masih harus urunan pula. Makanan yang dikonsumsi pun sederhana. Sesederhana tempat untuk tidur yang apa adanya, hanya lantai kelas beralas tikar, karpet biasa, atau tenda biru.

Bah, sungguh kegiatan yang membawa derita! Mbok ya milih kegiatan itu yang menyenangkan, kumpul sama teman di kafe kek apa kek …

Kumpul teman, lalu makan-makan  bukan tak pernah dilakukan. Namun, kebahagiaan yang dirasakan berbeda. Tak seperti menjadi relawan, bertemu teman dalam kondisi yang mudah dan penuh kesenangan macam itu rasa bahagianya tak sampai mengakar. Sampai-sampai rindu untuk melakukannya lagi dan lagi. Sebaliknya berkontribusi di jalur kerelawanan justru membuahkan kerinduan dan harapan, agar tahun depan masih diberi rejeki untuk ikutan.

Kenapa demikian? Karena setiap kali ikut ISL sebagai relawan selalu ada misi yang dibawa. Tak hanya menebar inspirasi kepada anak-anak yang kami temui, tetapi juga menyebarkan virus cinta literasi lewat buku-buku yang didonasikan.


Penyerahan donasi buku secara simbolis dari relawan kepada pihak sekolah.

Tak melulu donasi buku saja yang dilakukan agar kecintaan terhadap literasi kian tebal. Akan tetapi, para relawan juga turun tangan menginisiasi pojok baca atau bedah perpustakaan. 

Mengapa harus donasi buku? Karena permasalahan di lapangan, buku-buku yang tersimpan di perpustakaan sekolah sudah banyak yang tua dan ketinggalan jaman. Isinya cenderung menggurui dengan bahasa yang tak sesuai dengan kanak-kanak. Jika demikian bagaimana anak-anak bisa suka membaca jika bukunya cenderung membosankan?


Berfoto bersama usai bedah perpustakaan.

Lalu mengapa harus dilakukan inisiasi pojok baca atau bedah perpustakaan? Sederhana saja, perpustakaan atau pojok baca yang asyik dengan warna cerah dan quote atau lukisan dinding yang ciamik, diharapkan bisa membuat anak-anak suka serta betah membaca. Bahkan jika bisa berlama-lama menyerap beragam hal yang disajikan lewat buku-buku bacaan. Iya kan?


Sebagian dari buku-buku yang didominaskan pada pihak sekolah.

Lalu bagi diri sendiri apa dampak yang dirasakan dengan menjadi relawan semacam itu?

Satu, bersyukur. Saban kali berangkat dan jadi relawn dalam kegiatan ISL selalu ada cerita yang membuat kita terenyuh dan tertegun. Salah satunya kisah Batrisya, gadis kecil yang menyadap karet demi membantu ibunya. Saban hari ia berangkat sebelum adzan subuh berkumandang. Hal itu dilakukan karena jarak lahan karet dengan rumahnya cukup jauh. Saya yakin ia lelah, tetapi ia tak pernah lupa berangkat sekolah. Sungguh gadis kecil yang tangguh.

Kisah-kisah menarik seperti ini juga medan berat yang harus kami lalui tak urung menerbitkan rasa syukur. Ternyata kesusahan kami seringkali tak ada apa-apanya dibandingkan cerita anak-anak atau orang-orang yang kami temui dalam kegiatan ISL (Inspirasi Sekolah Literasi). Bukan syukur saja, kami juga  belajar untuk tak banyak mengeluh. Karena terlalu banyak mengeluh nyatanya tak mengubah keadaan. Justru aksi sekecil apapun yang bisa membuat perbedaan.

So, itu tadi ceritaku tentang "Happiness Itu Menjadi Relawan". Kalau kalian apa kawan? 


Komentar

  1. Menjadi relawan memang mengasyikkan, ada kebahagiaan tersendiri bisa berbagi dengan mereka, seperti jadi relawan inspirasi ini, ya Kka.

    BalasHapus
  2. Masya Allah memang ya kakk sukarela membantu sesama itu membuat hati gembira apalagi membuat mereka bahagia.

    Membantu tak pernah merugi

    BalasHapus
  3. Jadi relawan itu memang salah satu hal yang bikin kita bahagia karena kita juga membahagiakan orang lain. Selain untuk mengisi waktu luang

    BalasHapus
  4. Masyaallah tabarakallah, semoga selalu diberikan kesehatan, Mbak, agar bisa terus menebar kebaikan. Membaca kisah ini mengingatkan saya pada novel Tere Liye yang berjudul Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin. Novel ini menceritakan perjalanan seseorang yang peduli pada anak-anak yang kurang beruntung.

    BalasHapus
  5. seneng bisa tahu ada anak anak seperti Batrisya yang harus bekerja keras utnuk kehidupannya tapi tidak lupa untuk terus menuntu ilmu

    BalasHapus
  6. Pernah jadi relawan juga. Ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa berbagi dengan sesama.

    BalasHapus
  7. Aku setuju mba, kebahagiaan dengan menjadi relawan, itu bedaaa banget dengan kebahagian yg bersifat seneng2. Rasanya masuk banget ke hati. Dan terkadang bikin semangat utk trus ngelakuin lagi dan lagi.

    Tapi memang Krn keterbatasan waktu, aku skr ini lebih memilih menunjuk orang kepercayaan utk melakukan kegiatan donasi. Aku ada beberapa anak asuh di Aceh yang beberapa tahun ini aku biayain sekolahnya. Dan itu dihandle Ama orang kepercayaanku. Yg KSH laporan ttg progress anak2 itu. Itu aja udah bikin sangat happy. Melihat mereka bisa sekolah lagi. Kalo ada waktu, aku pengen bisa ke Aceh utk melihat langsung mereka. Sekalian ngajarin anak2ku utk lebih empati dan bersyukur melihat teman2nya yg kurang mampu.

    BalasHapus

Posting Komentar