Ketika Kawan Lama Yang Sukses Menjaga Jarak

 

Ketika kawan lama yang sukses menjaga jarak (Unsplash/Mateus Campos Felipe).


Saya tak sengaja bertemu teman jaman old saat berkunjung ke rumah saudara. Kami lalu ngobrol dan bercerita. Salah satunya adalah topik ketika kawan lama yang sukses menjaga jarak.

"Ya tetep baik, Fin. Tapi ya kelihatan kalau menjaga jarak," katanya sementara saya tertawa-tawa.

Saya tak asing dengan cerita semacam ini. Dan itu jamak terjadi. Kawan lama yang sukses kini menjaga jarak. 

Meski ia meladeni perkataan kita, namun terasa betul ada tabir tak kasat mata. Tidak terlihat, tapi susah ditembus. Tak urung rasa kecewa pun merebak. Entah sedikit atau banyak.

Lain hari saat bertemu lagi, semangat 45 yang kita pasang di awal jumpa pasti menguap entah ke mana. Tidak berminat lagi ngobrol panjang. Paling "Say hi" sambil lalu.

Bagus jika masih ada acara "Say hi!". Biasanya setelah merasa kecewa, kita cenderung enggan menyapa di pertemuan berikutnya. "Ketimbang sakit hati karena dianya kurang welcome",  begitu alasan yang umum dikemukakan orang-orang.

Tak banyak yang saya katakan usai mendengar cerita kawan jaman old saya waktu itu. Saya hanya bilang kemungkinan besar dia sering didekati orang lain karena jabatan atau kesuksesannya sekarang. Saking banyaknya yang punya pamrih macam itu, akhirnya ia kehilangan kepercayaan pun kepekaan mana-mana yang hanya ingin berteman dan bersilaturahmi biasa. Bukannya datang karena membawa sederet "keinginan". 

Pada akhirnya ia menyamaratakan semua orang. Dampaknya kita-kita yang tak mengusung niatan serupa, jadi kena imbasnya. Tak disambut sehangat nasi yang baru diambil dari Magic Com.

Ah, masa iya itu penyebabnya? Jangan-jangan karena rasa ujub yang bersemayam di dadanya. Sejak sukses secara karir dan finansial ia jadi merasa paling hebat, paling wah, paling keren, dan paling-paling lainnya.

Tak heran bila dia berubah haluan. Yang dulu baik, ramah, dan menyenangkan, kini menjaga jarak. Enggan dekat dengan mereka yang secara karir tak membawa keuntungan, pun tak sepadan secara finansial. 

Ya, bisa jadi itulah penyebabnya. Tapi, biarlah itu jadi urusan dia. Bukannya kita. Kita kudu santai and slay. 

Kok terdengar masa bodoh sih kesannya? Apa nggak sakit hati digituin teman lama?

Memang lebih baik memasabodohkan masalah tersebut. Mari menempatkan mana masalah yang pantas untuk dipikirkan dan mana yang baiknya diabaikan. Masalah kawan lama yang sukses dan kini menjaga jarak tak patut disimpan dalam sudut hati serta pikiran kita, apabila ujungnya hanya menjadi bahan bakar yang memicu amarah dan sakit hati semata.


Jika ketemu kawan lama yang sukses, namun menjaga jarak ya abaikan saja (Unsplash/Julien L).


Jika kedua hal tersebut bersemayam di hati kita, tak ada hal lain yang kita dapatkan selain emosi negatif semata. Padahal menyimpan emosi negatif macam ini justru buruk bagi kesehatan baik fisik maupun mental. 

Secara fisik, kemarahan tak hanya memperburuk imunitas atau kekebalan tubuh, tetapi juga bisa meningkatkan risiko terserang penyakit jantung dan stroke.

Secara mental, akan membuat kita mudah stres. Perlu diketahui bahwa stres ini erat kaitannya dengan kesehatan secara umum. Jika stres terjadi secara terus-menerus, dampaknya akan memperpendek umur.

So, kain kali jika ketemu kawan lama yang sukses, namun menjaga jarak, ya abaikan saja. Boleh kesal, tapi tak perlu berlama-lama. Cukup saat itu saja. Setelahnya mari kita berbahagia.

Tanamkan pada diri sendiri "jangan rusak harimu hanya karena satu orang bersikap tak mengasyikkan macam ini". Lalu hela napas dan singkirkan kejengkelan karena dia. Tak perlu fokus padanya. Iya tidak?

Komentar

Posting Komentar