Pentingnya Reward Saat Anak Puasa Ramadhan

Sumber gambar: Bing

Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang sudah akil baligh. Untuk menuju kemari tentu butuh proses. Dimulai pengenalan terlebih dahulu sebelum akhirnya berlatih puasa Ramadhan. Seperti yang dilakukan orang tua saya dulu. 


Dimulai dari cerita, lalu menyaksikan orang tua berpuasa di bulan Ramadhan berikut keriangannya menyiapkan takjil dan masakan berbuka, hingga akhirnya mulai menjalani puasa. Tak sampai satu hari penuh. Di awal-awal belajar, puasa dimulai selepas sahur hingga tengah  hari. Jadi ketika adzan Duhur terdengar langsung membatalkan diri dan makan. Baru dilanjutkan menahan haus dan lapar hingga adzan Maghrib datang.


Tahun ini, Fatih-keponakan saya yang nomor dua-mulai menjalani puasa Ramadhan. Usianya belum genap 6 tahun dan masih duduk di TK B. Tidak ada yang memaksa. Ia sendiri yang mau menjalaninya. Tentu ia sudah mengenal bagaimana puasa dari sekolah, tempat mengaji, dan orang-orang terdekatnya. Jadi sedikit banyak tahu seperti apa suasana puasa Ramadhan itu. Soal target, Bundanya pun tidak memberi target apa-apa. Mengapa tanpa target? Pertama, yang paling penting di usia Fatih sekarang adalah membiarkan dia belajar menahan diri dari haus dan lapar. Kedua, karena  memaksakan anak untuk berpuasa sesuai target orang tua, justru tidak akan membawa dampak baik untuk anak. Bukannya senang, anak justru terbebani secara fisik dan mental. 


Seperti anak-anak pada umumnya, belajar puasa memang tidak gampang. Bundanya bercerita dia sempat drama di awal-awal puasa. Jelang waktu dhuhur ia sempat menangis, karena merasa sangat haus dan lapar. Sempat juga mogok dan mengatakan tidak mau puasa lagi. Namun ternyata perlahan ia bisa beradaptasi. Kemarin (Kamis, 21/3/2024), dengan bangga dia bilang “Aku gak drama kan bunda?”

sambil senyum-senyum.


Bicara soal belajar puasa, tak afdol rasanya jika tak membahas reward. Ibu Fatih bilang memang ada reward sebagai bentuk apresiasi atas usaha yang dilakukan sang anak. Akan tetapi, ia tidak pernah menjanjikannya secara terbuka. Misal dengan bilang “Nanti kalau kamu bisa puasa sebulan penuh, akan Bunda kasih hadiah”. Menurutnya ia melakukannya hal itu karena  tidak ingin menjadikannya kebiasaan. Hingga anak hanya mau melakukan sesuatu karena ada reward atau imbalan. Bukan karena kemauan atau kesadaran sendiri.


Namun, reward sebagai bentuk penguatan selama belajar puasa Ramadhan tak hanya berupa benda. Ada beragam reward yang bisa diberikan kepada anak. Kata-kata positif yang membangun semangat anak untuk terus belajar puasa, memasakkan makanan kegemarannya, acungan jempol, hingga pujian kecil karena ia sudah berhasil menahan haus dan lapar sampai setengah hari merupakan bentuk reward juga.


Selain reward, berikan juga punishment atau hukuman kepada anak. Bukan dalam bentuk pukulan, cukup dalam bentuk reaksi ketidaksukaan. Misalnya sewaktu anak ketahuan mencuri-curi untuk minum, padahal sedang berpuasa. Dengan demikian anak belajar bahwa yang dilakukannya tidak benar. 


Namun, ada yang tidak kalah penting selain reward atau imbalan, yaitu contoh dari orang tua. Cara mereka menunjukkan betapa menggembirakannya puasa Ramadhan dengan tidak mengeluh sewaktu menjalankannya akan memberikan kesan positif pada anak. Anak akan termotivasi untuk mengikuti jejak orang tuanya dengan sepenuh hati. 


Sebaliknya gerutuan yang terus-menerus diikuti tampilan wajah lelah akan memberikan kesan sebaliknya. Anak akan menangkap kesan bahwa puasa itu sebagai sesuatu yang berat dan melelahkan. Alih-alih terdorong untuk berpuasa, bisa-bisa anak malah enggan melakukannya. 








Komentar