Pic : belong's to http://www.heart-homeconnection.com/
Dikatakan wanita
diciptakan dari tulang rusuk pria, tetapi di
masa kini tulang rusuk itu telah menjelma menjadi tulang punggung bagi
keluarga. Itulah kisah tentang Su, kawan saya.
Su adalah kawan saya
semasa SMP. Ia seorang yang periang, pemberani, dan berpenampilan seperti pria.
Sudah lama kami tidak berjumpa, sejak kami SMA hingga sekarang. Padahal kami
tinggal satu kota. Tetapi Tuhan rupanya punya cara mempertemukan Su dan saya dan
kawan-kawan. Entah bagaimana kami waktu itu sepakat mengadakan kunjungan pada
teman-teman lama. Seperti Su, misalnya. Kami takjub begitu bertemunya. Su kini
sangat berbeda. Ia tak lagi berpenampilan
seperti pria, tetapi keriangan dan keberaniannya masih tetap ada. Pertemuan
itulah yang kemudian membuka kisah pilu rumah tangganya, ia kerap mengalami kekerasan
dalam rumah tangga.
Seperti orang-orang
lainnya, alasan Su menikah dengan suaminya adalah karena cinta. Meski dibayangi oleh ketidaksetujuan kedua
belah keluarga, Su dan suaminya nekat juga. Demi cinta itu pula Su nekat
berpindah agama walau kemudian ia ditentang oleh keluarganya yang notabene
keturunan Cina. Semua nampak indah pada awalnya. Meski tidak sepenuhnya
sempurna tetapi keduanya bahagia. Masalah mulai terjadi saat usaha suaminya
mengalami kemunduran. Saya kurang jelas dibidang apa, tapi yang jelas hal itu
memukul telak perekonomian keluarga mereka. Suaminya menjadi lebih kasar dan
ringan tangan. Sedikit saja berbuat kesalahan maka Su akan menerima akibatnya.
Entah berupa pukulan, tendangan atau cacian.
Tekanan lain datang
dari keluarga suaminya. Ibu mertuanya sering berkata-kata buruk padanya. Andai
saja mereka tidak serumah mungkin tidak terlalu menjadi masalah, tetapi saat
itu mereka masih numpang di rumah mertua. Jadi Su harus terima-terima saja diperlakukan demikian oleh mertuanya. Saat-saat itu terberat
baginya. Pernah satu hari karena hal sepele, mereka bertengkar. Su dipukul dan
ditendang hingga tak sadarkan diri. Anehnya setiap kali melakukan perbuatan
seburuk itu, keesokan harinya suami Su bersikap baik sekali. Ia meminta maaf
dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya hingga hati Su luluh.
Kenyataannya janji-janji itu tidak terbukti. Rentetan persoalan itu membuatnya frustasi. Saking
buntu pemikirannya ia sampai nekat menggoreskan silet di nadinya. Beruntunglah Allah mencintainya. Seseorang
mencegahnya dan justru memberi pencerahan agar ia lebih kuat menjalani
kehidupan. Dorongan lain yang membuatnya sadar adalah anak-anaknya. Bagaimana
nasib mereka tanpanya?
Melihat keadaan Su,
ibu dan keluarga lainnya tentu bersedih. Mereka menyesali mengapa Su dulu tidak
mengikuti saran mereka dan memilih pria seperti dia. Terbukti sekarang bahwa ia
berperangai kasar dan menyebalkan. Apa boleh buat, itu sudah menjadi
pilihannya. Mau tak mau ia menjalaninya.
Di tengah himpitan
ekonomi itu, sebuah tawaran datang padanya. Mereka akan membantu bila Su mau
kembali kepada keluarga dan agama lamanya. Su bukan tidak ingin menerima
bantuan itu, tetapi bila harus kembali kepada agama lamanya ia tidak bisa.
Agama bukan sesuatu yang bisa dimain-mainkan begitu saja. Ia mengambil banyak
pertimbangan sebelum pindah. Memang awalnya yang jadi pendorong adalah
suaminya. Namun keputusan ada di tangannya. Ia melakukannya atas kesadaran
sendiri dan bukan dipaksa orang lain. Di titik ini kamu semua terpana. Waduh,
jika itu kami apa iya akan setahan itu? Cobaannya berat sekali, kawan! Menyangkut
masalah ekonomi. Kebanyakan orang akan menyambar kesempatan apapun untuk bisa
makan dan mencari kehidupan yang layak.
Akhirnya Su mencari
jalan keluar lain. Ia menyadari sekarang bukan saatnya ia berdiam diri dan
menunggu suami. Ia harus bekerja untuk masa depannya dan anak-anaknya.
Masalahnya apa? Ia minim pengalaman kerja, sementara ijazahnya hanya SMA.
Satu-satunya pekerjaan yang memungkinkan baginya adalah berjualan kue keliling.
Meski tak punya modal ia tetap bisa melakukannya dengan cara menjajakan beragam
kue kue buatan tetangganya. Dan nanti ia akan menyetor hasilnya pada mereka.
Masalah terselesaikan!
Benarkah demikian?
Itu nampaknya. Kenyataannya lain lagi. Su ternyata kerepotan mencari ijin
suami. Suaminya memang pencemburu, maka sejak menikah suaminya melarangnya
bekerja di luar rumah. Praktis Su dirumah saja, mengerjakan pekerjaan domestik
selayaknya ibu-ibu rumah tangga. Wajar
ketika Su meminta ijin untuk berjualan keliling ia tidak mengabulkannya. Namun
Su tidak patah arang, setiap hari ia mencoba mempengaruhi suaminya. Pikirnya
toh ia melakukan itu demi keluarga mereka. Sang suami akhirnya mengijinkan
dengan syarat-syarat seperti jangan
macam-macam diluar, jangan bicara dengan pria sembarangan, pekerjaan rumah tangga
harus beres, dan sebagainya dan sebagainya.
Sejak
itu Su pun memulai profesi barunya sebagai penjual kue keliling. Biasanya dia
mulai bekerja setelah selesai menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya. Rute
jualannya dimula dari TK yang terletak sekitar setengah kilometer dari
rumahnya, lalu ke Puskesmas, Bank, Kecamatan dan lain-lain tempat. Setidaknya
dari jam tujuh pagi hingga dua belas siang itu ia bisa bolak-balik menjajakan
kue sebanyak dua atau tiga kali.
Pembawaannya yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja memudahkan
ia untuk menjajakan kuenya. Jarang sekali kuenya tidak laku, meskipun ada
tetapi tidak banyak. Ia bahkan tak peduli cuaca. Hujan, panas, dingin, atau
apapun akan diterjangnya demi keluarganya. Bahkan sakit pun akan dilupakannya
asal anak-anak bisa makan.
“Aku
tidak boleh sakit. Jika sakit pun aku akan tetap berjualan. Jika tidak siapa
yang mau memberiku uang? Aku tak mau
anak-anakku kelaparan,” katanya membuat kami trenyuh.
Dari
pekerjaan itu ia mendapat uang sebanyak sepuluh
sampai lima belas ribu sehari. Tak besar memang, tapi itu membuat periuk nasinya bisa ditegakkan. Adapun
suaminya perangainya menjadi lebih baik semenjak ia bisa bekerja mencari nafkah
sendiri. Memang kala-kala kekasaran masih terjadi, tetapi sang suami tidak
berani lagi menendang, menempeleng seperti dulu lagi. Su sendiri telah berubah,
rupanya pekerjaan itu telah memberinya sebuah kepercayaan untuk membela diri di
depan suaminya. Ia bukan Su yang dulu lagi, Su kini lebih berani bersuara.
Bukan karena ia tidak menghormati suaminya, tetapi justru ia ingin suaminya
sadar perbuatan semena-menanya itu tidak pada tempatnya.
Terkadang
saat ia terlampau lelah, terbersit tanya mengapa hidupnya sesusah ini? Apakah
salahnya hingga diberi pendamping pemalas seperti suaminya kini. Bila tidak
mancing, ia duduk-duduk saja dirumah. Sementara ia harus banting tulang
menafkahi keluarga. Terkadang terpikir olehnya untuk berpisah saja. Tapi
pikiran itu itu dienyahkannya bila teringat anak-anaknya. Bagaimanapun mereka
adalah bapak anak-anaknya, pilihannya pula, maka ia tak boleh menyerah begitu
saja pada kata berpisah.
“Kau
tak pernah menegurnya perkara pekerjaan itu?” tanya kami.
“Bukannya
tak pernah, tetapi akhirnya malah jadi ramai. Ya, sudahlah. Aku ini malas bertengkar, malu sama tetangga
dan anak-anakku yang sudah besar. Meski begitu aku tidak membiarkannya begitu
saja,kadang ya kutegur juga, tapi sepertinya belum tergerak hatinya,” ujarnya
sambil memandang pada kedua anaknya yang asyik menikmati nasi dengan sayur sop,
berlaukkan tempe dan tahu setipis pelat
itu. Aduh, kami menahan perasaan melihatnya. Terlebih melongok penampilan sayur
sop yang minim sayuran. Jika diumpamakan sayur sop itu kolam, maka kolamnya
terlalu besar sementara isinya hanya dua ekor ikan kecil. Bisa dibayangkan kan?
“Bu,
aku minta tambah tempenya ya?” tanya si sulung saat itu, menukas pembicaraan
kami.
“Hush,
sudah! Nanti saja!” sahutnya.
Si
anak langsung diam dan meneruskan kembali makannya meski tanpa lauk. Kami
menghela napas melihatnya. Dirumah tempe dan tahu sampai keleleran, enggan
memakannya bila sudah dingin. Disini minta tambah saja sampai ijin segala.
Aduuh!
“Terus
bagaimana?” tanya kami lagi.
Su
diam, lalu menjawab ,”Ah, aku pasrahkan pada Allah saja. Gusti Allah yang punya
hidup ini. Allah memberikan kesulitan tentunya tidak akan melebihi kemampuanku,
kan?”
Kami
diam, menyelami perkataannya dengan berbalik bertanya pada diri sendiri. Jika
kami menjadi dirinya masihkan itu yang kami katakan? Rasanya lebih mudah
mengumpati Tuhan saat kemalangan bertubi-tubi menyerang. Dalam perjalanan
pulang kami mendapati banyak pelajaran, tentang ketegaran mahkluk bernama
perempuan.
Setelah
pertemuan itu kala-kala saja kami bertemu. Semasa itu pula yang lebih banyak
diceritakannya adalah anak-anaknya. Ia seringkali berkata betapa beruntungnya
ia memiliki dua anak sepengertian mereka. Mereka tidak pernah menyusahkan
dirinya. Su jarang memberikan bekal,
selain sepiring sarapan pagi. Namun anak-anak ini tidak protes sama sekali.
Yang lebih lucu lagi, setiap kali mengambil dagangan ibunya anak-anak ini akan
membayarnya. Ini benar adanya, karena kami melihat dengan mata kepala kami
sendiri. Apa pasal? Anak-anak itu kasihan kepada ibunya. Mereka tahu seberapa besar keuntungan
berjualan kue keliling, jika itu dipotong dengan kue yang mereka makan pasti
keuntungannya berkurang. Mereka juga jarang mengeluhkan tentang makanan. Nasi
putih berlauk tempe saja sudah cukup bagi mereka. Pemikiran anak-anak ini
benar-benar dewasa melampaui umurnya.
Allah
itu memang luar biasa ya? Di saat Su sedih karena ulah suaminya, ia diberi
kebahagian melalui anak-anaknya yang luar biasa.
Beberapa
waktu lalu saat berjumpa dengannya ia nampak ceria. Ia bercerita bila kini
suaminya mau bekerja. Sejak beberapa
waktu lalu pria itu berjualan masakan
matang buatannya. Seperti nasi kuning, mie, dan lainnya yang dijajakan jauh di
desa-desa. Ia begitu bersyukur atas perubahan ini. Menurutnya ia kerepotan
karena ini. Bagaimana tidak? Ia harus bekerja sejak malam agar paginya masakan
itu siap dijajakan. Namun menurutnya itu
repot yang menyenangkan bila dibanding sebelumnya.
Kami tersenyum mendengarnya. Di mat akami ia luar
biasa, mampu menahan perih dan egonya demi keutuhan rumah tangga. Bisa saja ia
memilih berpisah dari suaminya, namun ia justru tegak berdiri dan berusaha
keras agar biduk rumah tangganya tegak
seperti harapannya. Jempol dua untuknya, tulang rusuk yang menjelma menjadi
tulang punggung bagi keluarganya.
you can read the information here
http://jarilentikyangmenari.blogspot.com/2012/12/give-away-buku-yaallahberiakukekuatan.html
sungguh tulang rusuk yang kuat dan hebat, tak mengeluh meski harus lebih kuat dari tulang lainnya.
BalasHapusSalut.
iya mbak, kamia sering mbrebes sendiri kalo melihat keadaannya
BalasHapussosok perempuan yang kuat, terima kasih sudah berbagi yaa
BalasHapusah sama-sama mbak Maya, semoga ini bisa membuat kita jadi lebih bersyukur, terutama saya sih sebenarnya
BalasHapus:)
Mrebes mili bacanya. Salam untuk Su ya :)
BalasHapusMakasih mbak vanda, orang seperti dia ada untuk nyentil rasa syukur dan peduli sesama
BalasHapusMengharukan sekali :')
BalasHapusIya mbak, begitulah. Makasih udah kemari :-D
BalasHapushuffff tarik nafas dalam2 :(
BalasHapusSaya nangis,nasib Su serupa saya, tapi saya kurang setegar dia,seceria dia,padahal pekerjaan saya insyaallah lebih menjanjikan.Hanya suami belum mendapatkn pekerjaan tetap,tp saya blm tahu seberapa keras usahanya mendapatkn pekerjaan,krn jika membahas ini,ujung2nya perang dingin. Tapi Alhamdulillah suami tdk kasar. Terimakasih tulisannya, mengingatkn saya utk bisa setegar Su.Salam berjuang utk Su.
BalasHapus