GILA !
Kurasa itu yang akan dikatakan orang-orang
pada saya. Saya memutuskan hengkang dari tempat kerja hanya dalam jangka dua
bulan setelah tandan tangan kontrak kerja.
Bukan hal main-main mengingat mencari
pekerjaan itu susah. Bahkan rekan sekerja saya berkata ,”apa nggak sayang?
Sekarang nyari kerja kan gak gampang.”
Saya tidak membantahnya. Saya justru
memembenarkannya. Memangnya kenyataannya demikian. Pencari kerja banyaknya
alakazaam, tetapi lowongan pekerjaan tidak sebanyak yang diinginkan. Semua
berbondong-bondong, berebutan mencari tempat kerja. Sementara saya yang sudah
dapat justru melepaskannya. Padahal saya
juga tidak punya “plan” cadangan setelahnya.
Semua bermula ketika saya merasa tersiksa
dengan perubahaan keadaan di tempat kerja yang baru. Saya jadi kerap pulang
malam. Bahkan pernah sohib saya si pecinta onyet yang kini beralih jadi pecinta
uba-uba (Lumba-Lumba) dan paus Orca (bukan Okra lho, kalo itu sayuran jepang ya
hehe) pernah bilang,”Elu pulang malam mulu kerjaan lu satpam ya?”
Buseeet, dikatain satpam dah saya. Enggak tahu
dia, kalo saya ini sopir *lhooh malah parah.
Pulang dari kantor sudah malam. Seringkali diawal-awal bisa lewat jam
delapan. Jalanan sudah sepi, tak banyak mobil dan motor berkeliaran. Sementara tak semua jalanan yang saya lewati
dilengkapi lampu jalan. Belum lagi saya harus daerah-daerah sunyi yang kiri
kanannya dihiasi padi. Kalau pagi sih pemandangan mengesankan, kalo malam?
Hwaduuh, tidaaak...Saya langsung ngeplas aja setiap melewatinya. Zwiiiing,
dengan kecepatan melebihi suara (lebay!).
Apa pasal? Hihihi, saya takut jalan malam
sendirian. Meski sebenarnya naik motor kencang-kencang itu juga beresiko.
Perjalanan yang memakan waktu 30 sampai 45
menit itu saya lakukan setiap hari, tepatnya dua kali dalam sehari. Pagi dan
sore hari. Bisa dibayangkan kalau sampai dirumah badan remuk redam. Setelah
mandi dan makan, saya langsung molor. Alarm yang saya pasang jam setengah tiga
malam, sering kelewatan. Bangun-bangun sudah subuh. Setelah sholat subuh baru
mulai nulis. Jam setengah tujuh, nulis harus disudahi. Padahal lagi
hangat-hangatnya mengembangkan ide *ngeeek.
Saya jadi mikir lagi. Terus terang sebagai
manusia saya butuh uang. Tetapi jika karena itu saya jadi kehilangan waktu
bersenang-senang saya juga tidak tahan. Bersenang-senang disini bukan dalam
artian menghabiskan waktu tanpa tujuan, tetapi melaksanakan hobi yang saya
sukai. Dalam hal ini membaca, menulis, merajut, memotret, dan seabrek hal
lainnya. Yang paling berat saya rasakan adalah nggak bisa membaca buku dan
menulis seperti semula
Bayangkan saudara-saudara, nggak bisa nulis
dan membaca.
Aih gila! I can’t staaand *muter-muter kepala
ala rocker.
So that’s it. I quit!
Sebulan pertama, saya masih berpositif
thinking. Pasti ada waktunya kau menemukan celah untuk bersenang-senang, begitu
kata hati saya. Tetapi di bulan kedua, saya sudah tidak mampu menahannya meski
ortu berkata agar saya mempertahankannya.
Bukan hanya itu Ibu Ketum satu itu dengan
gwalaknya (ihihihi) bilang “Elu mau ngapain kalo nggak kerja? Elu bisa jadi
katak dalam tempurung ntar.”
Alasannya apa sih? Sampai senekat itu?
Sebenarnya ada banyak alasan lain yang
mendasarinya, tetapi itu terlalu private
untuk diumbar diruang terbuka. Saya dan teman-teman sesama admin kerap saling
mengatakan “ganjalan” ketika pintu ruang tertutup dan hanya kami berempat yang
ada. Hal yang nampaknya sepele tetapi
luar biasa dampaknya buat kesehatan jiwa *hahahah apa seeeh. Namun biarlah itu
tetap menjadi rahasia. Yang saya kedepankan ketika mengirimkan surat
pengunduran diri adalah saya tidak mampu mengelola waktu antara pekerjaan
kantor, jualan rajutan, dan menulis tentu saja.
Beberapa waktu silam saya pernah bicara dengan
Nining Sumarni, rekan yang juga lolos audisi outline di Bukune sekaligus
pejuang Gradien Writer Audition (yang
masih nungguin gimana hasil finalnya setelah prosesnya yang lumayan bikin
jedag-jedug hati dan kepala) seperti saya. Dia sempat mengatakan tidak mudah
membagi waktu antara menulis dan pekerjaan. Pasti ada yang timpang. Ketika dia
bilang outline yang lolos itu masih belum kelar dijabarkan, saya nyengir kuda.
Sama, beberapa kendala memang mampir dan memampetkan kepala untuk menyelesaikan
secepat perkiraan saya. Kendalanya apa? Alaah, nggak penting juga diceritain.
Buat saya lumayan berat, tapi kalo dibandingin penulis lain pasti kendala saya
nggak ada apa-apanya *hukhuk, batuk-batuk.
Ya, saya akhirnya memilih keluar saja setelah
menimbang-nimbang bagaimana baiknya. Selama itu saya kerap dibayang-bayangi
quote-quote yang ada dalam buku karya Peter O’Connor, penulis When Tomorrow
Comes & Seeking Daylight’s End. Buku
itu benar-benar mempengaruhi dan
memotivasi saya untuk berani meraih impian, meski buat sebagian lain saya edan!
Saya tidak ingat semua quote-quotenya, tetapi jelas dua ini selalu terngiang di
kepala saya,
“Akan selalu ada hal-hal yang
tak mampu kau kendalikan, tapi kau baru benar-benar gagal kalau kau membiarkan
hal-hal ini mencegahmu mencoba. Kalau kau tak pernah mengambil resiko, kau pun
takkan pernah mencapai apa-apa. Lebih baik mencoba dan gagal, daripada takut
mencoba.
Ada orang yang menghabiskan hidup tanpa pernah mencoba
melakukan hal-hal baru, karena mereka takut gagal. Yang tidak mereka sadari
adalah, walaupun orang pemberani takkan hidup abadi, orang yang selalu
berhati-hati malahan tidak pernah hidup sama sekali.”
Setiap
pilihan memang tidak ada yang mudah. Seperti jalan di depan kita, tak mungkin
bila selalu mulus tanpa lubang didalamnya. So, bismillah saja dan teriakkan “
GANBATTE!” sekencangnya.
sebenarnya sebagai perempuan aku juga lebih nyaman kalu bisa berkiprah dari rumah aja. so neng afin don't worry be happy kalu emang resign itu better buat ur life ya jalani aja.....ganbatte!:)
BalasHapusMakasih mbak sarah, hihi...dont worry be happy
HapusYakin dan terus berusaha pasti yang namanya rejeki nggak akan ke mana-mana, yang penting bekerja dengan hati senang kan :)
BalasHapusterima kasih mbak Indah Juli, suhu yang baik hati
Hapussemoga bisa nyontek jejak mbak ya
note ini gue buangeets. Kayaknya kita 'sejenis' mbk apin #tumbuhan kali...
BalasHapushahahha, satu spesies lah pokoknya
Hapus*baca ilmu genetika
doain aye ya mbak
Wew salut akan keberanian mba afin. Semangat mba meraih mimpi
BalasHapussaya sebenarnya takut juga mbak windi, tetapi saya berpikir jika saya tidak melepaskan diri saya gila juga
Hapussungguh saya takut banget
Hidup adalah pilihan... :-)
BalasHapusHehe, Mbak Yeni aka Mbak A.A
Hapusbanget mbak, pilihan tak selalu mudah
saya punya ketakutan bila gagal
tapi jika saya berhenti melangkah
saya juga takkan kemana-mana
wish you all the best, sist, yakinlah rezeki sudah ditulis semoga bisa kau raih cita dan cintamu :)
BalasHapusMbak Lyta, terima kasih doanya
HapusHiihihi, insyaAllah
go apin go apin go apin GO!*lonjak2 ala cheers.
BalasHapusmbak anik, jangan kenceng-kenceng lompatnya
BalasHapusAdik keen bisa melesat ke udara loh ntar
anyway makasih ya
apapun keputusannya semoga itu yang terbaik ya mbak...
BalasHapussmangaaat
Terima kasih mbak Riesta Emy, semoga doa mbak dan lainnya selalu menjadi penyemangat saya
Hapuskenyamanan adalah yg paling penting, utk apa kerja klo hati ga nyaman. klo saya milih berhenti kerja krn ikut suami, bagi saya lebih nyaman ikut mendampingi suami
BalasHapusiya mbak Lisa Tjut,
Hapusnyaman itu penting
bukan sekedar gaji yang jadi bahan pertimbangan kerja kan?
terima kasih udah mampi kemari
Mudah2an dapat kerjaan yang lebih nyaman ya jeng :D
BalasHapusterima kasih doanya Mbak Mugniar Bundanya Fiqthiya,
BalasHapusamiin
kutipan dari bukunya keren, semoga cepet dapet kerjaan baru mbak
BalasHapusAha, sepertinya sebentar lagi aku juga akan mengambil keputusan sama sepertimu :D
BalasHapuskenapa Neng? Fokus ke bisnis ya?
Hapus