Saya sedang
iseng menengok posting lama ketika membaca komentar Anonim yang berbunyi :
Mbak,
kalo boleh tau, setelah menikah adik mbak tinggal sama siapa? Kalo saya, karena
adik masih belum mapan dan telah menghamili diluar nikah, akhirnya mau
dinikahkan dan setelah itu tinggal sama ortu dan saya selaku kakak perempuan
satu2nya ( kami hanya 2 bersaudara). Saya khawatir sekali akan pandangan
tetangga dan saudara, sebelumnya aja mereka uda memandangi saya dgn begitu
apalagi nanti adik saya menikah dan ngadain pesta dirumah.. Dan pacar adik saya
adalah anak yg belum cukup umur, sedangkan saya adalah seorang wanita dewasa yg
sudah saatnya menikah akan tetapi masih belum menjalin hub dgn siapapun..Alangkah
baiknya jika saya bisa memiliki sifat cuek bebek seperti mbak tanpa harus
mikirin kata2 org lain. Boleh minta sarannya mbak?
Ada
semacam perasaan bersalah muncul karena telat membacanya. Maklum posting berjudul
“Jika Status Jomblomu MenghalangiPernikahan Adikmu” itu tayang sudah lama, sekitar tahun 2013. Jadi
komentar-komentar yang masuk belakangan luput dari perhatian saya.
Membaca
komentar itu tak urung membuat saya membayangkan jadi Mbak Anonim. Sebagai
lajang, saya tahu rasanya ditatap kasihan oleh orang-orang karena saya masih
sorangan. Belum terlihat tanda-tanda hendak melangsungkan pernikahan meski usia
sudah matang. Secuek-cueknya saya ngadepin mereka, kadang-kadang saya juga
tidak nyaman.
Karena itu
saya bisa mengerti kalau Mbak Anonim merasa gusar. Ditatap dengan kasihan saja sudah
tidak mengenakkan perasaan, apalagi dilangkahi adik karena “kecelakaan”. Tambahan
kasus di belakang itu pasti memukul perasaan. Tapi siapa juga yang tidak terpukul?
Siapapun anda, mengetahui adik menghamili anak orang itu
wow...menyesakkan!
ditatap dengan kasihan saja sudah tidak mengenakkan apalagi dilangkahi karena adik kecelakaan |
Saya pikir keputusan keluarga mbak Anonim sudah benar
Terlepas
apapun pendapat orang, keputusan
keluarga Mbak Anonim untuk menikahkan adik dengan kekasihnya itu sudah benar.
Kalau ditinjau dari kacamata positif saya melihat ada sesuatu yang lebih besar
dari sekedar menutupi aib. Yaitu mengajari adik bertanggung jawab. Jadi dia
tahu ketika dia melakukan kesalahan dia tidak bisa seenaknya cuci tangan.
Jadilah ksatria dan lakukan apa yang seharusnya, menjadi ayah dan kepala rumah
tangga.
Perkara
belum mapan secara finansial biarlah Allah yang akan menunjukkan jalan. Saya
banyak bertemu orang yang ketika belum menikah pikirannya dangkal, ketika menikah jadi berbeda. Jadi lebih
bertanggung jawab dan dewasa. Mau bekerja keras, karena dia tahu ada
mulut-mulut yang harus ditanggungnya. Yaitu istri dan anaknya.
Adik (sebaiknya) tinggal
dimana setelah menikah?
Situasi
yang saya alami berbeda dengan mbak Anonim. Karena adik saya sudah terhitung
sudah mapan kala itu, jadi setelah menikah ia langsung memboyong istrinya ke
Kalimantan. Meski adik ipar pernah tinggal bersama kami namun hanya untuk
melahirkan, setelah itu dia kembali lagi ke Kalimantan. Sebaliknya, karena adik
Mbak Anonim belum mapan, setelah menikah ia pilih tinggal dengan orang tua.
Bila
ditinjau dari situasi, saya rasa pilihan
tersebut adalah pilihan yang paling baik. Kenapa begitu? Kenapa nggak disuruh
tinggal di tempat lain? Ngontrak misalnya? Biar bisa mandiri dan belajar
bagaimana repotnya jadi orang tua.
Harusnya
sih iya. Hanya saja melihat sikonnya, sepertinya masih belum memungkinkan. Bagaimanapun
juga menjadi pasangan baru sekaligus orang tua baru itu tantangan besar. Apalagi untuk orang yang secara usia belum
matang plus belum siap mental menjalani pernikahan (asumsi saya usia adik Mbak
Anonim sekitar 18-22 tahun/anak kuliahan dan istrinya sekitar 15-17 tahun). Dalam
fase ini bimbingan kedua orang tua masih sangat dibutuhkan. Sehingga mereka siap jadi jadi orang tua meski pernikahan
keduanya dilakukan karena “terpaksa”.
perlu kesiapan mental memiliki anak |
Swear deh,
jadi ortu baru itu tidak segampang yang dibayangkan. Masa menjadi orang tua yang terlalu cepat bisa menimbulkan ketegangan.
Terlebih saat mereka masih mencapai tahap penyesuaian (soal kebiasaan,
pengaturan keuangan, dll). Jika tanpa dukungan, ayah dan ibu baru bisa stress
mikir hal ginian. Apalagi faktanya jika belum mapan.
Tapi tentu
saja ini tidak bisa selamanya. Tidak bisa terus-menerus bergantung pada orang
tua. Pada saatnya adik harus keluar rumah dan membangun sendiri keluarganya.
Ada konsekwensi yang harus ditanggung karena peristiwa
itu
Setiap
peristiwa memberi konsekwensi berbeda. Begitu juga peristiwa yang dialami Mbak
Anonim sekeluarga. Jadi bahan omongan, ditatap dengan pandangan yang tidak
mengenakkan, disindir macam-macam tak mungkin bisa dihindari lagi. Tidak menyenangkan
memang, tapi kalau diladeni malah merepotkan.
Masalahnya kita hanya punya dua tangan. Tidak
bisa kita menutup mulut semua orang. Yang harus dilakukan dalam keadaan begini
adalah menggunakan tangan untuk menutup telinga kita sendiri dan terus
melangkah ke depan.
“Hidup bukan tentang omongan orang, tetapi tentang waktu
yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.”
(Shabrina
WS, Antologi Jomblo Prinsip Atau Nasib hal 65)
Kalau
bahasa pantunnya sih :
Nasi sudah jadi bubur
Apa yang sudah terjadi, nggak bisa lagi diundur
Jadi lebih
baik “StopDengerin Komentar Negatif Orang!”. Jangan buang waktu dengan mendengar hal-hal semacam itu.
Yang paling penting adalah melakukan hal terbaik untuk menyongsong masa depan. Dan
itu sudah dimulai dengan membiarkan adik mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Demikian
tadi tulisan tentang ‘PROBLEMA :
TERPAKSA DILANGKAHI ADIK KARENA “KECELAKAAN”’. Terima kasih untuk Mbak
Anonim atas sharing-nya, semoga
kisah anda (plus sedikit tanggapan kecil saya) bermanfaat bagi siapa saja.
Khususnya saya. Meski saya telat meresponnya.
Salam.
memang dalam keadaan begitu jangan telalu memikirkan pendapat negatif orang lain ya. Btw kalau aku komennya di moderasi jadi komen di postingan lama tetap terbaca di email
BalasHapusIya mbak Lidya, bener itu. Nggak usah mikirin pendapat negatif orang. Apa yang dialami jeng anonim itu bisa dialami keluarga manapun bahkan yang baik-baik je.
BalasHapusTadinya mau dimoderasi mbak Lidya, tapi saya onlenya hanya sekali atau dua kali seminggu. takut numpuk hihihi
Saya malah dilangkahi oleh kedua adik saya, bukan karena "kecelakaan" tapi lebih ke jodoh mereka sudah datang dan mereka sudah mapan. Omongan orang? wow santer banggeeettt. Tapi so what lah, saya pikir jodoh sudah ada masing-masing dan mereka cuma ngomong doang, ngapain dipikirin. Kan usaha kita cari jodoh nggak perlu juga digembor2kan ke khalayak ramai.
BalasHapusTapi, mungkin Mbak Anonim itu orangnya perasa ya ^_^. Coba cari kesibukan yang bikin capek dan teralihkan perhatiannya, Mbak.. :)
Trims juga sudah sharing.. :)
Mbak Riski yang kece
Hapussaya justru salut dengan keputusan sampeyan. Apapun omongan orang kalau kita tak ambil pusing, rasanya takkan ada pengaruhnya. Lagipula urusan jodoh mah urusan Allah.
Masa gara-gara belum ada jodoh kita menghalangi pernikahan adik?
Keren, keren banget.
salam kenal
saya yang bungsu dan belum nikah saja sudah dibikin pusing sama masalah kaya gini, ortu sih diam saja cuma tetep gak nyaman sama pandangan orang apalagi teman-teman yang udah nikah dan punya anak,, duh apalagi kalau dilangkahin ya, kayanya tambah mumet. tapi saya anggap aja angin lalu toh mereka gak ngasih saya makan :D
BalasHapusNeng ila, santai saja. InsyaAllah kalau sudah jalannya pasti sebentar lagi sampeyan akan menuju pelaminan.
HapusDan saya setuju dengan anggap angin lalu itu.
Daripada ngomongin mbok ya nunjukin satu aja pria yang baik hati dan pantas untuk dijadikan suami ya neng mereka itu hihihi