Saya lupa kapan membeli buku
Berbahagialah yang ditulis oleh Dr. Aidh Al-Qarni itu. Bukunya tipis, hanya
sebesar saku. Jumlah halamannya pun tidak banyak, hanya 126 halaman.Akan
tetapi, saya menyukainya. Isinya ringkas, dalam, dan berkesan.
Dulu saya membelinya tanpa pikir
panjang, karena nama yang tertera di sampulnya. Kala itu sedang booming buku La
Tahzan, karya beliau juga. Namun saya belum mampu membelinya (bahkan sekarang
pun belum), jadi ketika melihat buku tersebut saya langsung membayar.
Tidak disangka buku ini kemudian
menjadi buku yang penting bagi saya. Acap ia membantu saya untuk kembali tenang
ketika risau dengan masa depan. Sebagai penulis freelance gaji saya memang
belum bisa dikatakan mapan. Masih naik turun seperti halnya jalan menuju pegunungan.
Disertai tikungan tajam pula diantaranya. Wajar jika saya terkadang merasa
ketakutan. Namun kalimat Aidh Al-Qarni yang berbunyi :
“Jauhilah sifat cemas dan
bimbang karena ia adalah racun."
membuat saya tersadar tak ada
gunanya memelihara kecemasan. Toh, yang rugi saya juga. Cemas tidak hanya
membuat saya sulit tidur, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan. Dari berbagai
sumber yang saya baca kecemasan yang berlebihan itu meningkatkan resiko terkena
penyakit jantung. Nah, loh ! Serem 'kan?
sumber gambar : Nguyen Nguyen from Pexels |
Lain hari sewaktu jengkel
melanda, buku ini pula yang menyadarkan agar tidak menyimpan perasaan itu
terlalu lama lewat kalimat :
“Jangan menyalakan oven
dalam dada Anda dengan
permusuhan, kedengkian, dan kebencian
terhadap orang lain, karena ini
adalah azab yang langgeng.”
Dipikir-pikir kalimat itu ada
benarnya. Saat saya menyimpan kemarahan pada manusia, siapapun mereka, yang ada
hidup saya tidak tenang. Saban hari menggerutu kesal. Duh, sungguh perbuatan
yang unfaedah. Lain halnya sewaktu saya
melepaskan kemarahan dan mengambil keputusan "Sudah, cukup sampai disitu
saja", hati lebih tenang. Cara pandang saya pun lebih jernih ketika
melihat persoalan.
Jika begini saya pun kembali
tenang. Tidak mengeluarkan api atau keluar tanduknya lagi. Akan tetapi,
ketenangan itu terkadang terusik jua ketika rasa tidak percaya diri datang.
Bertemu kawan lama yang lebih cantik, lebih sukses, lebih hebat, dan lebih
segala-galanya membuat saya merasa kecewa. Meski ditepis rasa tidak puas itu
merayapi hati juga ketika membandingkan diri sendiri dengan dia, si kawan lama.
Situasi ini tak urung menghilangkan rasa bahagia di hati. Hingga kemudian saya
mendapati deretan kata yang berbunyi :
“Merasa puaslah dengan
bentuk tubuh Anda, potensi Anda,
pendapatan Anda, keluarga Anda, dan rumah Anda, niscaya Anda akan
peroleh kedamaian dan kebahagiaan.”
Memang benar. Mensyukuri apa yang
kita miliki berefek menenangkan perasaan. Hati tidak lagi kemrungsung oleh
kekecewaan. Sebaliknya yang ada hanya rasa bahagia.
sumber gambar : Photo by freestocks.org from Pexels |
Saat lain, ketika
musibah datang tak diduga, buku ini pula yang menolong saya mendinginkan rasa.
Kala itu tanpa dinyana ada motor yang menyerempet hingga saya jatuh menyeruduk
aspal. Saya tidak apa-apa, tetapi Ibu (almarhum) saya tidak. Dari sela-sela jilbabnya
merembes darah segar karena benturan dengan aspal. Saya marah besar, terutama
pada pelaku tabrakan yang lari sebelum menunaikan tanggung jawabnya. Hingga
saya terantuk kalimat yang berbunyi,
“Jika Anda mendapatkan musibah, maka gambarkanlah
bahwa musibah itu lebih besar dari itu, niscaya
hal itu
akan menjadi ringan bagi Anda.”
Seketika saya
terdiam dan perlahan emosi pun turun usai membacanya.
Hal-hal semacam itu tak urung
mengingatkan saya bahwa nikmat Allah itu tak melulu berupa keluasan rejeki,
tetapi juga ilmu yang didapat darimana saja, termasuk dari buku bacaan yang
saya punya.
Anda suka baca buku juga? Apa
buku yang paling penting bagi Anda? Yang seringkali Anda baca karena
kemanfaatannya?
Wah apiiik sekali. Kok pas ya baca ini sperti menasihati diriku sendiri agar ga mudah cemas akan hal yang belum pasti. Thanks fin
BalasHapusHahaha, terima kasih kembali Mbak. Saya juga bersyukur suka diingatkan Mbak Lyta
BalasHapus