sumber gambar : https://pixabay.com |
Saya selalu melewati jika ada orang yang share gambar atau
video kekerasan, korban pembunuhan, atau kecelakaan. Saya tidak jijik atau
lemah hati, hanya tidak tega melihatnya. Untuk mengantisipasi hal yang sama,
biasanya saya cukup unfollow atau hide postingannya di akun media sosial,
daripada saya sebal jika ia mengunggah hal yang sama kemudian hari. Terlebih
bagi mereka yang gemar membagikan hal semacam itu sebelumnya.
Akan tetapi, tindakan ini ternyata terkadang tidak cukup.
Yang di media sosial sudah aman, di aplikasi percakapan malah terbuka lebar.
Seperti beberapa waktu silam. Seorang kawan mengisahkan,
sewaktu ramai berita pengeboman di Surabaya, seseorang dengan entengnya
mengunggah gambar pelaku tanpa sensor. Dalam kondisi utuh saja rasanya tidak
nyaman, apalagi jika tidak utuh lagi. Sontak semua kawannya mengingatkan. Tidak
hanya dianggap norak, berbagi gambar semacam ini juga menunjukkan kurangnya
etika si pengunggah.
Lain hari, masih di grup WhatsApp, ada kejadian serupa. Seseorang
membagikan video korban pembunuhan kalau tidak salah. Korbannya, seorang
perempuan, tergeletak di tepi parit atau semacamnya dalam keadaan tak
berbusana. Niatnya mungkin hanya berbagai berita, tetapi bagaimana pun tindakan
berbagi gambar atau video korban (baik pembunuhan, kekerasan, pemboman, atau
kecelakaan) itu tidak pantas dilakukan.
Memang sampai sekarang belum ada regulasi jelas yang mengatur
ini, setahu saya pun baru pihak kepolisian Bandung yang membuat surat perintah
pelarangan share foto mayat korban tindak pidana, korban kecelakaan lalu lintas,
atau yang lain di tempat kejadian perkara. Dimana hal ini tertuang dalam
surat nomor B/1418/V/2017/Restabes
Bandung, yang dikeluarkan Kepolisian Negara Republik Indonesia Jawa Barat,
resor Kota Besar Bandung.
Walau demikian, ada baiknya kita berpikir panjang sebelum
menyebarkan lewat media apapun. Tidak hanya buruk secara etika, tetapi juga
kemanusiaan. Coba
bayangkan, jika kita berada di posisi keluarga korban. Melihat gambar sanak
saudaranya dijembreng-jembreng di aplikasi chat atau media sosial pasti
menyedihkan. Terlebih dengan kondisi aurat yang terbuka. Secara agama (Islam), memperlihatkan gambar orang meninggal yang auratnya
terbuka pun diluar kepatutan. Jika sewaktu memandikan saja harus menggunakan
kain sarung sebagai penutup untuk menjaga kehormatannya, masa iya kita
semena-mena menyebarkan gambar atau video di mana tubuh korban tak tertutupi
selembar benang pun?
Satu hal lagi yang perlu dipikirkan adalah kondisi psikologis
orang yang melihatnya. Tidak
semua orang kuat melihat gambar-gambar semacam itu. Buat beberapa orang,
menyaksikan gambar korban kekerasan, kecelakaan, pembunuhan, atau pemboman,
bisa menjadi peristiwa traumatis. Masa iya harus menunggu korban, baru kita
sadar perbuatan itu tidak benar?
Di lain sisi, ada anak-anak yang harus kita jaga. Bagaimana
jika anak tak sengaja melihat tayangan tersebut ketika bermain menggunakan
ponsel si Emak atau si Bapak? Tayangan semacam itu tidak pantas untuk
disaksikan. Sama seperti halnya orang tua, anak juga rentan terkena dampak
psikologis dari gambar-gambar yang dilihatnya. Bagaimanapun juga manusia
memiliki kemampuan memproses tayangan berupa video, gambar, atau bahkan cerita hingga seolah
mengalaminya sendiri. Padahal sesungguhnya tidak. Dan bukan tidak mungkin ini
akan menimbulkan kecemasan berlebihan pada si anak.
Lebih parah lagi terlampau sering berbagi gambar korban
kecelakaan mengakibatkan empati dan kepekaan kita jadi hilang. Sewaktu terjadi
kejadian yang memilukan, respon yang muncul justru tak seperti yang diharapkan.
Bukannya merasa sedih, justru kita malah enjoy mengunggah gambar. Tanpa sedikit
pun merasa bersalah.
So, stop upload foto korban pembunuhan atau kecelakaan, kawan. Itu menyalahi etika dan kemanusiaan.
Sumber :
https://motorplus.gridoto.com/read/04138311/aturan-larangan-foto-mayat-korban-kecelakaan-?page=all#!%2F
Komentar
Posting Komentar