Photo by Josh Willink from Pexels |
Cinta pertama? Jika yang
dimaksud dengan pria, saya tak punya cerita yang luar biasa. Yang berisi kisah
mengharu-biru ala-ala Qais dan Laila. Atau malah menginsipirasi orang untuk
menirunya. Jadi saya tak bisa
menceritakannya. Meski demikian bukan berarti saya atau orang lain yang tak
memiliki kisah cinta pertama macam itu tak pernah mengalaminya. Justru jauh
sebelum itu kita sudah mendapatkannya. Cinta pertama yang jauh lebih berkesan.
Cinta pertama dari siapa? Cinta dari Ayah dan Bunda.
Ayah dan Bunda memiliki
porsi penting bagi kita. Keberadaannya memegang peranan bagi tumbuh kembang
anak secara optimal. Ayah, yang acap disebut cinta pertama bagi anak gadisnya,
memberi pengaruh besar bagaimana ia kelak di masa depan. Kedekatan emosional
antara anak dan ayah akan membentuk kepercayaan dan citra dirinya. Tangguh dan
tidaknya ia kelak, ditentukan sejak awal masa pertumbuhan.
Ketidakhadiran Ayah dalam
pengasuhan bahkan berpengaruh besar pada tipe pria yang akan dipilihnya
kemudian. Anak-anak yang kurang kasih sayang dan penghargaan cenderung
mencari-carinya di luar. Mudah jatuh pada sembarang pria, bahkan yang seusia
ayahnya. Tidak jarang mereka terperosok ke dalam hubungan yang salah, bersama
pria yang abusive (kasar) misalnya.
Bagi anak laki-lakinya,
Ayah adalah pahlawan. Semua perilakunya akan direkam dan ditiru. Dengan Ayah ia
belajar bagaimana menjadi pria. Jika Ayah malas-malasan serta kerap
berlaku buruk pada perempuan, kecenderungan anak untuk meniru sangat besar.
Jadi jika kelak anak berlaku sama, tak perlu merasa heran. Karena ini adalah
jejak yang ditinggalkan Ayah di masa silam.
Keberadaan Ayah diperlukan
untuk mengajarkan anak bagaimana harusnya
memecahkan masalah, berlaku dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana
menjalankan perannya sebagai pria di masyarakat.
Photo by Josh Willink from Pexels |
Bunda, perempuan pertama
yang dikenal anak laki-lakinya, juga membawa pengaruh bagi perilaku anak saat
dewasa. Penolakan darinya akan membuat anak lelaki berlaku agresif
kedepannya. Sebaliknya jika hubungan berjalan baik, anak akan tumbuh menjadi
sosok yang tenang, percaya diri, serta memiliki rasa empati yang besar.
Kemampuanmnya memperlakukan perempuan dengan benar cenderung lebih baik
ketimbang yang kurang memiliki kelekatan emosional.
Bagi anak perempuan pun demikian.
Ketika ibunya mencintainya, anak akan belajar dicintai dan mencintai di saat
yang sama. Ini akan menjadi landasan awal untuk membangun kepercayaan dirinya.
Sebaliknya, mereka yang tumbuh tanpa kasih sayang ibu, akan tumbuh sebagi
pribadi yang kurang percaya diri di masa dewasa. Ia juga sulit mempercayai
orang lain di sekitarnya. Bukan tidak mungkin ketika ia menikah dan punya anak
akan meniru pola pengasuhan yang sama seperti ibunya.
Adapun saya,
saya merasa bersyukur memiliki kedua orang tua yang perhatian. Ibu saya,
perempuan pekerja, yang selalu menyisihkan waktu untuk bertanya “Bagaimana hari
ini di sekolah? Apa yang terjadi tadi”. Lalu kami akan bercerita lengkap dengan
segala ekspresi kejengkelan, kemarahan, atau bahagia. Ibu pula yang mengajari
saya bagaimana bersikap pada Ayah, meski ia memiliki gaji dan kedudukan yang
baik di kantornya. Ibu pula rekan curhat paling asyik sedunia. Bahkan bagi ipar
saya, Rena, sebelum Ibu tiada.
Ayah saya, seorang
penjahit yang tidak segan membantu istrinya melakoni pekerjaan rumah tangga.
Beliau tidak segan membantu mencuci, memasak, dan mengasuh kami bertiga. Ayah,
yang memperlihatkan pada saya bagaimana seharusnya pria memperlakukan anak dan
istrinya. Ayah pula yang mengajarkan
kami, untuk mengandalkan diri sendiri. Jangan bergantung pada orang lain.
Tentu saja
mereka bukan orang yang sempurna. Masih banyak orang tua yang lebih baik dari
ayah ibu saya. Akan tetapi, dari mereka berdua kami belajar bagaimana seharusnya menjadi
manusia dewasa lengkap dengan kekurangan dan kelebihanya
Komentar
Posting Komentar