sumber gambar : https://www.pexels.com |
Saya
terkejut mendengar teman saya sakit hipertensi. Saya pikir dia baik-baik saja, aih ternyata
setelah beberapa waktu tak jumpa justru saya mendengar ia terkena hipertensi
atau orang biasa menyebut darah tinggi.
Sebagai
kawan, yang kebetulan memiliki ayah dengan penyakit sama, saya paham apa yang
dirasakannya. Termasuk soal penurunan tekanan darah yang tidak signifikan itu. Sejak
Ayah terkena hipertensi, saya menyadari bahwa banyak hal hal harus di maintain
agar tekanan darahnya tetap stabil.
Menjaga pola makan dan hidup sehat itulah kuncinya.
Bagaimana
jika kita sudah menjaga pola makan sampai sirikan (red. menghindari) beragam
makanan, tetapi tekanan darah tak kunjung turun? Atau kalau pun turun tidak
sedrastis yang diharapkan?
Meski
sudah menjaga pola makan memang tidak serta merta menurunkan kadar
hipertensinya. Sabar dan tenang saja, itu kuncinya. Jika belum turun-turun
juga, tak perlu kemrungsung. Apa ya bahasa Indonesianya? Ah, semacam perasaan
yang campur aduk begitulah. Karena hal semacam ini justru mendorong kita untuk
khawatir berlebihan dan akhirnya malah jadi bahan pikiran. Jika terus-menerus
begini akan jadi beban bagi psikologis kita. Efeknya malah kesehatan yang
dipertaruhkan.
Berdasarkan
pengalaman Ayah, setiap kali dia merasa takut sewaktu hendak periksa ke dokter,
tekanan darah langsung melonjak. Berbeda ketika dia sudah jauh lebih tenang,
biasanya hasil periksa akan menunjukkan tekanan darah yang normal.
Hal-hal itulah yang saya ceritakan pada kawan saya. Termasuk bagaimana Ayah
memilih bersikap optimis dam positif menjalani hari-harinya setelah dokter
menyatakan ia menderita hipertensi. Nasehat makan ini dan itu agar tekanan
darahnya turun tidak saya lakukan. Saya rasa dokternya pasti sudah memberikan.
Lagipula bukan kompetensi saya pula untuk mengatakannya. Kalau salah bagaimana?
‘Kan repot jadinya.
Saya lebih suka melakukan support saja. Orang yang tengah sakit lebih butuh
ini ketimbang penghakiman “Kamu sih nggak jaga pola makan!” atau “Makanya jaga
kondisi badan, kalau sudah gini runyam ‘kan?”. Sudah sakit, tertekan,
khawatir, sedih, eh masih pula diberi
ucapan demikian pasti kesal.
Saat menjenguk pun demikian. Sebisa mungkin menghindari pertanyaan yang
menjurus ke arah sakitnya apa, bagaimana, dan sebagainya. Si sakit pasti mblenek
alias bosan mendengar pertanyaan semacam itu. Ucapkan saja hal yang
ringan-ringan. Menyemangati agar sembuh atau justru hal-hal yang membuatnya
senang. Tidak perlu berlama-lama juga di sana. Karena kehadiran kita bisa-bisa
malah mengganggu istirahatnya. Pikirkan saja jika ini terjadi pada kita, saat
kita sedang sakit dan butuh istirahat malah yang jenguk tak pulang-pulang. Mau
ngusir nggak enak, nggak diusir kita perlu menjaga kondisi badan.
Perkara himbauan makan ini-itu, suplemen ono dan anu, lebih baik tak simpan.
Percaya saja bahwa dokter jauh lebih paham ketimbang kita yang awam.
Mendorongnya untuk terus bersemangat menghadapi sakit sangat disarankan. Akan
tetapi, komen yang menjatuhkan mental seperti “Dulu kawanku mengalami ini
langsung meninggal”, “Tetanggaku tidak selamat setelah didiagnosis penyakit ini”,
“Saudaraku dirawat di rumah sakit langsung is dead!”, atau “Duh, ini sih susah
pengobatannya! Mau diapa-apain nggak mempan” lebih baik dikantongin dan dibuang
pada tempatnya. Sebab komen-komen semacam ini malah jadi bumerang, bukannya
meningkatkan semangat si sakit efeknya justru kebalikan. Nah, nggak asyik ‘kan?
Soal buah tangan bagaimana? Lihat-lihat dulu saja tau cari informasi.
Takutnya malah salah membawa buah tangan berupa makanan yang harus dihindari ‘kan
jadi nggak enak juga. Malah jadi penyakit nantinya.
Salam
setuju banget mba, malah sugesti dan motivasi itu bisa jadi "obat" untuk mereka. :D
BalasHapusBetul, kalimat positif insyaallah bisa memberi efek positif juga. 😁
Hapus