KEBO-KEBOAN ALASMALANG, TRADISI WONDERFUL INDONESIA DARI TANAH BERJULUK SUNRISE OF JAVA


Eloknya pemandangan pantai di Banyuwangi.

 Sebagaimana tertera dalam lagu Umbul-Umbul Blambangan, Banyuwangi adalah tanah endah gemelar ring taman sari nusantara. Secara harfiah kalimat tersebut berarti Banyuwangi adalah tanah indah yang terhampar di taman sari nusantara. Keindahan yang dimaksud tak hanya alamnya saja, budayanya demikian juga. Salah satunya adalah kebo-keboan dari Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan secara turun-temurun setiap bulan Suro, pada hari Minggu, tanpa melihat hari pasaran. Pertimbangannya pada hari itu semua warga libur sehingga bisa bisa mengikuti jalannya upacara. Adapun tujuan dari upacara adat ini adalah memohon keselamatan dan dijauhkan dari berbagai mara bahaya. Sekaligus perwujudan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen dan pengharapan bahwa tahun depan panen kian melimpah dibanding tahun sebelumnya.

Kebo-keboan Alasmalang.

 Tradisi kebo-keboan bermula ketika Alasmalang dilanda epidemi penyakit (pagebluk) yang menyebabkan banyak warga meninggal. Pagi sakit lalu sore meninggal atau sebaliknya.  Serangan hama penyakit  pada tanaman pertanian memperparah keadaan, menyebabkan gagal panen dan kelaparan. Dilatarbelakangi oleh kondisi ini, Ki Buyut Karti selalu sesepuh desa melakukan semedi di watu lasa—sebuah batu berbentuk datar seperti klasa (tikar) yang terletak di sebuah perbukitan kecil di Alasmalang—demi mencari petunjuk cara mengatasi masalah tersebut. Hasilnya adalah wangsit untuk mengadakan selamatan desa. Tujuannya tak lain menghalau bencana yang terjadi di desanya, di mana ritual adat kebo-keboan sebagai wujud penghormatan pada Dewi Sri—simbol kesuburan dan kemakmuran—digelar. Usai digelar hajatan tersebut, Alasmalang memang tak lagi dilanda bencana. Pagebluk hilang dan masyarakan Alasmalang kembali tenteram. Sejak itulah upacara kebo-keboan menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahun. Sempat vakum pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, namun kemudian upacara ini dihelat lagi.
Watu lasa, tempat semedi Buyut Karti.
 Umumnya, sepekan sebelum prosesi adat kebo-keboan dilakukan, masyarakat Alasmalang bergotong-royong membersihkan lingkungan rumah dan sekitarnya. Dilanjutkan pembuatan tumpeng, peras, aneka jenang, kinang ayu, kendi, ingkung dan lainnya  yang dilakukan para ibu sehari sebelum hari H. Tak lupa disiapkan juga para bungkil, singkal, cangkul, pera, pitung tawar, pisang, kelapa, serta bibit tanaman padi sebagai bagian dari perlengkapan upacara. Tidak hanya disiapkan untuk acara selamatan, akan tetapi juga ditempatkan di tiap-tiap perempatan di dusun Krajan, tempat di mana upacara kebo-keboan dilangsungkan. Sementara tanaman palawija seperti pisang, ketela pohon, jagung, tebu, beragam jenis umbi yang acap disebut sebagai pala kependhem, pala kesimpar, pala gumantung, disiapkan para pemuda pada malam harinya untuk kemudian ditanam di sepanjang jalan dusun. Tidak lupa genangan air untuk mengairi palawija yang sudah ditanam itu disiapkan pula. 


Palawija di tanam sepanjang jalan desa dan disematkan di gapura.
 
Pagi hari digelar barikan yaitu acara selamatan yang digelar di sepanjang dusun. Dalam acara ini hadir panitia, sesepuh dusun, modin, dan segenap warga. Barikan diawali dengan sambutan dari panitia, diakhiri dengan doa yang diucapkan modin, setelah itu ditutup dengan menyantap makanan bersama-sama. Akan tetapi, tahun 2018 ini berbeda. Agar lebih khusyuk dan khidmat, barikan dilaksanakan sebelum hari H. Tepatnya Sabtu sore, tanggal 22 September 2018.  

Dewi Sri di atas kereta yang ditarik oleh kebo-keboan.

Selanjutnya pawai ider bumi yakni arak-arakan ke empat penjuru mata angin sembari membawa visualisasi Dewi Sri berikut para dayang pengiring, kebo-keboan, pawang, para petani yang membawa persembahan. Berikut kesenian hadrah, tethek (patrol), reog Ponorogo, dan barongan. Ada yang menarik di awal prosesi ini yaitu ketika salah seorang kebo-keboan memasuki rumah Pak Muraji dalam kondisi trance (tidak sadar), seolah meminta ijin. Rupanya Pak Muraji bukan orang sembarangan, beliau salah satu tokoh kebo-keboan paling tua di Alasmalang. Kini beliau tak lagi didapuk jadi kebo-keboan, akan tetapi sejarah menorehkan bahwa Pak Muraji adalah tokoh yang dihormati di Dusun Krajan, terutama dalam upacara adat kebo-keboan. 

Kebo-keboan di prosesi ider bumi.
Usai bertandang ke tempat Pak  Muraji, sosok kebo-keboan tadi kembali ke jalan, menyusuri jalan desa yang sudah tergenang air bak persawahan bersama puluhan kebo-keboan lainnya. Pada masa lampau ider bumi dilakukan dari arah timur laut (watu lasa), lalu ke barat (watu karang), dilanjutkan ke selatan (watu gajah), dan terakhir ke arah timur (watu naga). Namun, sejak tahun 1965, ider bumi hanya dilakukan di seputar jalan desa saja.
 
Barong ider bumi.
 Ider bumi berakhir di Rumah Budaya Kebo-keboan (RBK), bukan persawahan seperti tahun-tahun silam. Di dalam sepetak tanah berlumpur, berpuluh kebo-keboan mempertontonkan perilaku mirip hewan tersebut kala sedang berkubang atau membajak sawah. Saat benih ditabur, masyarakat akan berbondong-bondong mengambilnya. Ada semacam kepercayaan bahwa mengambil benih tersebut mendatangkan keberuntungan, keberkahan sekaligus penolak bala. Sementara kebo-keboan yang trance tadi akan mengejar para pengambil benih karena dianggap pengganggu. Dan inilah atraksi yang justru dinanti banyak orang. Meski harus bersusah payah menghindari kejaran kebo-keboan hingga terjungkal dan mandi lumpur berulang-ulang sewaktu mengambilnya, tak ada satu pun yang marah. Terakhir pawang akan menyadarkan kebo-keboan  mengusapkan peras pitung tawar ke atas kepala masing-masing orang, sebelum kembali ke Petaunan, tempat acara kebo-keboan berakhir.

Berebut benih.
Bersamaan dengan itu kerumunan masyarakat mulai memudar. Masing-masing orang beranjak pulang. Namun demikian, berakhirnya upacara tak lantas mengakhiri sebuah kesan. Tidak hanya takjub oleh atraksi Kebo-keboan yang kolosal, akan tetapi nilai didalamnya patut diacungi jempol. Tradisi kebo-keboan tanpa sadar mengajarkan kita tentang pentingnya kerukunan dan kebersamaan, yang tercermin lewat kegotongroyongan masyarakat untuk mempersiapkan acara sedari awal. Tradisi kebo-keboan juga mengajarkan kita perkara kecermatan. Tak mudah menyiapkan acara sebesar upacara adat kebo-keboan. Diperlukan kecermatan tinggi agar prosesi berjalan lancar, semenjak dari persiapan hingga acara kelar. 

Upacara adat kebo-keboan juga sarat akan makna. Segala ubarampe upacara memiliki arti mendalam. Contohnya, jenang abang putih, kendi, serta suruh (sirih). Jenang abang adalah simbol hawa nafsu, pendorong keinginan diri pada hal-hal duniawi. Sementara jenang putih adalah simbol nurani manusia yang fungsinya untuk mengendalikan hawa nafsu. Adapun kendi merupakan simbol agar manusia bisa meniru kendi pembawa air, menjadi pribadi mulia yang dibutuhkan oleh sesamanya. Terakhir, sirih atau suruh dalam bahasa Jawa. Sebagai bagian dari kinang ayu, suruh memiliki makna “supaya weruh” atau supaya tahu dalam bahasa Indonesia, yang intinya menggambarkan bedanya manusia yang berilmu dan tidak. Jadi bisa dikatakan sirih adalah simbol agar manusia tetap belajar. 


 

Komentar

  1. Waaa aku baru tahu kak ada ginian kebo- keboan. Seru banget itu rebutan benih.

    BalasHapus
  2. Aku baru tahu tradisi Kebo-Keboan. Indonesia memang kaya akan ragam budaya dan selalu dibuat terpesona

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Indonesia itu kaya banget keindahan alam dan budayanya.

      Hapus
  3. Mba 2019 kapan kira2 acara ini? Saya baru tau. Padahal sekitar 2-3 Kali ke Malang. Pengen banget nonton. Makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini di Banyuwangi, Mbak. Desanya Alasmalang. Tiap bulan Suro, biasanya instagram pemkab Banyuwangi majang acara ini.

      Hapus
  4. Budaya Banyuwangi ternyata masih kental ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih, Mbak. Tapi, mungkin nilainya sudah mulai bergeser sedikit, agar lebih pas diterima wisatawan.

      Hapus
  5. Selama ini saya hanya tahu tentang Reog dan Bantengan. Eh, di Banyuwangi malah ada kebo-keboan, ya. Seru juga prosesi adatnya. Kalo saya mah takut dikejar kebo lagi trance begitu, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya nontonnya dari jauuh, takut kena colet arangnya. Moto sambil was-was dideketin kebo-keboannya 😁😁

      Hapus
  6. Huwaa
    Baru tahu kalau ini kebo2an pdhl wong jowo
    Meski penampakanny serem tp penuh filosofis ya

    BalasHapus
  7. kayak pagelaran barongsai gitu ya mba...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Barongsai mungkin lebih atraktif, nah ini lebih serem karena kebo-keboannya suka nggodain penonton dengan ngejar-ngejar apa nolet angus gitu 😁😁

      Hapus
  8. Serem ya mba hehe tapi filsofnya ada.
    Aku tertarik utk liat dan motret langsung. Pasti seruu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mangga,Mbak. Biasanya bulan Suro, tanggal 1-10. Seru ada di sana

      Hapus
  9. Penasaran dengan yang namanya kebo-keboan. Ternyata setelah baca artikelnya baru ngeh klo itu perilaku yang mirip hewan kala sedang berkubang atau membajak sawah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, manusia yang jadi kerbau. Jadi suka koceh di air gitu, Mbak Abby.

      Hapus

Posting Komentar