Saya baru pulang dari takziyah di rumah tetangga waktu
melihat kembang telang di sisi kiri jalan berbunga. Kembang telang itu tumbuh
subur, diantara perdu bunga soka. Tepat di depan rumah yang dimiliki toko Bares.
Tidak disangka sewaktu asyik menyibak daun-daunnya, mencari buahnya yang
berbentuk polong-polongan, seseorang menyeru pada saya. Menyilakan saya jika
ingin mengambil bunganya untuk dijadikan seduhan atau malah obat. Konon
kawannya yang sakit mata sembuh karena minum rebusan bunga telang.
“Ambil saja, nggak apa-apa. Saya kok yang menanamnya di
situ,” katanya ringan.
Saya yang sejatinya tidak berniat mengambil bunga itu,
mengucapkan terima kasih atas tawarannya. Saya bilang ingin mencari buahnya
untuk dijadikan bibit. Ternyata perempuan paruh baya itu malah menawari saya
bibitnya. Tak lama kemudian ia pun menghilang. Lalu kembali sekejap kemudian
dengan kresek hitam kecil di tangan sembari meminta maaf karena ternyata
bibitnya tidak ada di rumah, melainkan di tokonya.
Tak berapa lama kemudian ia mengangsurkan kresek itu pada
saya dan sekali lagi menyilakan agar saya mengambilnya. Belum diiyakan beliau sendiri justru yang
memetik si bunga telang dan dijejalkan dalam kresek hitam. Saya segera
mengucapkan cukup ketika melihat berpuluh-puluh bunga telang masuk ke dalam
kresek itu.
“Tidak apa-apa, bunga ini setiap hari berkembang. Sekarang
diambil esok bunganya sudah banyak lagi,” katanya sambil bercerita kalau banyak
teman-temannya yang dikasih bibit bunga itu juga.
Karena saya ingin bibitnya juga, akhirnya ia pun ikut
memilihkan polong-polong yang kering. Dia bahkan berkata “Itu kurang kering
kalau dijadikan bibit” sewaktu saya memetik buah kembang telang yang telah
menua.
“Bagusnya yang macam ini,” ujarnya lagi seraya menunjuk ke
salah satu buah yang bijinya sudah berjatuhan, tinggal kulit luarnya saja.
Selama itu saya iseng mencari tahu siapa dirinya. Maklum,
selama menjadi penduduk di RT tempat saya tinggal, baru kali itu saya
melihatnya. Seingat saya rumah itu lama tak berpenghuni. Itu sebabnya saya
heran dan bertanya-tanya melihat beliau sedari tadi.
“Saya Cik Gwat. Toko saya dekat Bares (kalau tidak salah
dengar). Toko Hasil. Jualan karung Goni,” katanya sambil bertanya di mana rumah
saya.
Saya bilang rumah saya dekat sini saja. Agar tak
membingungkan saya sebut saja nama salah satu restoran yang ada di sudut jalan.
“Oh, itu. Ya, ya …,” ujarnya.
Sejurus kemudian saya pulang. Bunga saya taruh di atas alas
kayu, untuk kemudian saya foto, sembari berpikir betapa hari ini saya beroleh
rejeki. Mungkin tak seberapa, hanya kembang telang dari tetangga. Akan tetapi,
kembang telang itulah yang mengantar saya belajar tentang kebaikan spontan.
Kebaikan sederhana yang terulur tanpa pikir panjang.
Kebaikan spontan itu serta merta membuat saya bertanya,
apakah saya sudah melakukannya? Walaupun kecil saja? Atau malah terlampau
berpikir bagus tidaknya atau malah untung ruginya? Sedemikian rupa berpikir
hingga akhirnya malah batal beraksi dan memilih tidak melakukan apa-apa?
Senyum menebarkan energi positif bagi diri sendiri dan sekitar. |
Seraya meneruskan memotret kembang telang, saya berpikir
Allah mempertemukan saya dengan Cik Gwat hari itu bukan tanpa sebab. Ia ingin
saya belajar sesuatu, yaitu “Lakukan kebaikan hari itu, tak perlu menunggu,
sebab belum tentu esok kita punya waktu”. Mulailah dari yang sederhana, yang
mampu kita kerjakan, semisal tersenyum.
Senyum itu memang hal yang kecil dan tampaknya tak
menghasilkan apa-apa. Ah, jangan salah! Hal sesederhana itu justru bisa
memberikan energi positif, tidak hanya bagi diri, tetapi juga orang-orang di
sekitar kita. Menghalau muram dan menularkan kebahagiaan pada sekitar kita. Itu dampak bagi sekitar. Lalu bagi diri
bagaimana? Senyum membuat suasana hati kita jauh lebih baik, tak urung stres
reda, dan pada akhirnya ini berdampak baik bagi kesehatan kita.
sangat menginspirasi ceritanya, terima kasih
BalasHapusSama-sama, terima kasih kembali.
Hapus