Sunber : Lalesh Aldarwish dari Pixabay |
Beberapa waktu lalu saya sambang ke rumah teman
lama. Sejak lulus kuliah saya tak pernah lagi bertemunya. Kebetulan kapan itu
ada waktu saya menyempatkan diri mampir ke rumah setelah pulang jadi relawan
pengajar di Kelas Inspirasi Pasuruan.
Selama dua hari dua malam di sana bukan rumahnya, hidangannya, atau
berapa luas tanah yang dimiliki dia dan keluarganya yang selama itu saya
perhatikan. Akan tetapi, hal lain yaitu soal sedekah.
Paginya, waktu kami hendak makan, ia tak hanya sibuk
menyiapkan makanan untuk saya dan keluarganya. Namun juga mahkluk Allah
lainnya, kucing-kucing milik tetangga. Ia goreng pindang beberapa, lalu
ditiriskan dan disiapkan di atas meja. Seraya menanti kucing-kucing itu tiba,
ia persiapkan makanan di atas meja. Bukan di ruang makan letak mejanya, tetapi
di halaman belakang yang berbatasan dengan saluran irigasi (kalen kata orang Jawa) serta sawah dan
kebun sengon milik keluarganya. Setelah itu ia mengajak saya menikmati makanan
pagi itu, seraya menatap bunga-bunga di tepi pematang dan hijaunya pemandangan
dari tempat saya duduk di tepi kalenan
(saluran irigasi)
Makan pagi sambil menikmati perdu dan hijanya sawah serta kebun sengon. |
Tak berapa lama, kucing-kucing itu tiba. Satu-satu,
tidak bebarengan munculnya. Seperti halnya kucing yang lapar, mereka pun
mengeong meminta makan. Kawan saya segera menyiapkan makanan untuk mereka
berupa gorengan ikan pindang yang dicampur dengan nasi.
Kucing-kucing itu berlompatan menuju pojokan.
Mengerumuni wadah yang diletakkan di salah satu pohon yang ada di sudut
kebunnya. Puas-puas mereka makan, tak mengganggu kami lagi yang asyik menikmati
pecel. Setelah itu mereka nampak asyik ngelekar (rebahan) setelah kenyang.
Dari cerita yang disampaikan kawan saya sembar makan
pagi itu, dia sudah lama memberi makan kucing-kucing itu. Bukan sekedar memberi
makan, tetapi juga mengajarkan putrinya untuk menyayangi hewan sekaligus membantunya
menghilangkan rasa takut pada mereka. Kata kawan saya, putrinya punya trauma
pada kucing. Untuk yang terakhir itu saya memang melihat sendiri. Siang hari
ketika kami mampir di satu tempat untuk minum, ada seekor kucing di atas kursi.
Kucing itu tidak melakukan apa-apa, tetapi putri kawan saya itu tak mau masuk.
Ia pilih ke tempat lain saja, ketimbang masuk ke dalam dan duduk bareng kami
yang sedang menikmati jus.
Lain halnya kalau ia ada di rumah. Dikerumuni kucing
sebanyak itu ia biasa aja. Tidak mau mendekat memang, tetapi tidak lantas lari
atau balik kanan melihat ramainya kucing yang makan di dekatnya. Mungkin karena
ia mengenal baik kucing-kucing itu berikut tabiatnya. Dan ia tahu jika mereka
tak melompat, mengejar, atau melakukan hal lain yang memicu rasa takutnya.
Syzygium malaccense masak pohon. |
Namun, bukan hanya pada kucing ia bersedekah.
Burung-burung pun dibiarkan menikmati Syzygium malaccense alias jambu bol di kebun kecil yang
berbatasan dengan sawah keluarganya. Buahnya sangat lebat. Saking lebat dan tak
ada yang mengambili, sampai buah yang masak pohon jatuh sendiri. Bukan disia-siakan,
tapi tidak sempat mengambili. Ia dan suaminya kerja. Orang tuanya juga punya
kesibukan sendiri. Jadi tidak sempat mengurusi jambunya itu.
Yang beruntung akhirnya
ya burung-burung di sana. Buah jambu bol yang ranum akhirnya jadi makanan buat
mereka. Juga bocah-bocah kecil kadang mengambili tanpa pamit pada empunya.
Pernah suatu waktu bocah-bocah itu ketahuan ibu kawan saya. Karena takut mereka
jatuh, sang ibu membawakan senggek (bambu untuk menjolok jambu). Wah,
melihat itu mereka lari tunggang langgang seraya meninggalkan jambu yang sudah
dipetiki. Si Ibu menyeru agar mereka kembali dan memetik si buah dengan senggek
saja. Lebih aman dan tidak beresiko jatuh. Karena ketakutan, mereka malah
semakin kencang. Waktu ketemu lagi, mereka diminta mengambil jambunya kembali.
Yang ada mereka malah ketakutan dan pergi. Wahahaha, lucu sekali …
Kalau menurut
hitung-hitungan pengusaha, jelas tindakan itu tidak menguntungkan. Buah-buah
jambu tersebut kalau dijual bisa menghasilkan uang. Kalau memang tak bisa
mengambili sendiri, ‘kan bisa meminta tolong orang untuk mengambil dan kemudian dijual. Atau
malah ditebaskan. Hasilnya lumayan ‘kan buat beli es cendol? Ha, tapi kawan saya santai saja. Ia tak meributkannya.
Katanya, biar saja. Itu rejeki mereka.
Setelahnya saya jadi
mikir, apa jangan-jangan ini juga yang bikin mereka hidup cukup bahkan berkelimpahan?
Bersedekah karena memang ingin bersedekah, bukan karena embel-embel biar rejeki
lancar. Entahlah, saya juga tidak bisa menjawabnya. Hanya saja di QS. Al-Baqarah: 274
Allah telah mengatakan bahwa :
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Komentar
Posting Komentar