Relawan ISL Batch 3 dan murid SDN Tamansari 4-Licin berfoto bersama |
Beberapa tahun lalu seorang karib
saya, Dee, mengajak saya untuk mengumpulkan teman dan memberi inspirasi ke
sekolah-sekolah. Mereka akan menceritakan profesinya sendiri-sendiri, berharap
itu bisa menjadikan anak-anak yang kami temui bercita-cita setinggi mungkin. Waktu
itu saya menolak. Dengan gamblang saya mengatakan bahwa apa yang dia lakukan
itu tak semudah membalik telapak tangan. Mengumpulkan dan meminta mereka
meluangkan waktu di hari kerja bukan perkara gampang. Yang paling penting
adalah perijinan. Saya jenis manusia spontan, paling malas kalau harus
menghadapi birokrasi macam-macam. Padahal kalau sudah berurusan dengan pihak
sekolah banyak yang harus dilakukan. Harus ke UPTD, harus ke sekolah, dan
ngurus segala tetek bengek lain demi menyukseskan acara. Apalagi kami tinggal
di kota yang berbeda. Dia dimana, saya dimana. Dia juga tak selalu pulang
setiap pekan. Ini ngaturnya gimana? Kalau ada yang bikin acara seperti itu dan
saya tinggal nyemplung tanpa repot jadi panitia ya mangga, pikir saya spontan.
JADI
INSPIRATOR TAK SEGAMPANG YANG DIKIRA
Jadi inspirator, berdiri di depan
kelas, dan bercerita apa profesi saya pasti bisa. Begitu pikir saya. Bicara di
depan umum toh tak asing buat saya. Bisalah, meski nanti ada belibetnya.
Lagi-lagi saya begitu yakinnya. Begitu naik panggung (baca : masuk dalam
kelas), hwalaah tidak segampang itu. Selama satu jam berada di dalam kelas, doa
saya semoga jam cepat berlalu (ngakak jaya).
Sungguh, tak mudah ternyata memberi
penjelasan pada anak-anak sembari menjaga mood mereka. Membuat mereka tetap
fokus pada penjelasan kita tanpa kehilangan ketertarikannya. Oi, oi...kalau
situasi itu digambarkan dalam kartun pastilah sudah muncul palu di atas kepala
saya. Lalu si palu memukul-mukul dengan sendirinya sebagai tanda saya kehabisan
ide. Hahahaha...
Saya berusaha melemparkan beberapa
permainan untuk membuat suasana di kelas tetap cerah-ceria. Aish, aish...susah
ya? Usaha maksimal saya tak berhasil memancing “kegilaan” anak-anak itu keluar.
Haduuh, kebayang deh kalau jadi guru kelas mereka dan harus menerangkan selama
berjam-jam. Kayaknya saya bakalan mimisan. Swear!
Rupanya relawan yang lain juga
merasakan hal yang sama. Hampir semua mengaku ternyata sulit juga menghidupkan
suasana kelas. Ada masa-masa dimana moment “krik-krik” merajalela dan kita
berpikir keras bagaimana cara keluar dari situasi “awkward” itu dengan selamat.
Beruntung jam berikutnya diteruskan
oleh sang fasilitator, jadi saya bisa istirahat, menghela napas lega, dan sibuk
foto-foto kondisi kelasnya. Melihat caranya handle
kelas saya tahu, saya masih perlu mengasah pedang...eh keahlian macam itu jika
kelak ikutan acara ini lagi.
HAL-HAL
PENTING YANG SAYA DAPATI SETELAH KELAR ACARA
Sepertinya bukan mereka, anak-anak
sekolah ataupun rekan-rekan RLB, yang beruntung karena saya ikut jadi
inspirator disana. Justru sebaliknya, sayalah yang beruntung mendapatkan
pengalaman berharga antara lain :
a. Sulitnya jadi guru
Sejam jadi relawan profesi
(inspirator) dan harus bercerita membuat saya tahu betapa sulitnya jadi guru.
Kau harus bisa menerangkan dengan gamblang, suaramu juga harus lantang agar
seluruh kelas bisa mendengar. Syukur anak muridnya pintar-pintar, tapi bagaimana
jika kebalikan? Mungkin mereka sulit konsentrasi, pasif, atau tidak gampang
menerima pelajaran...duh mak kudu sabar. Jika sejam rasanya tenggorokan sudah
kering bagaimana jika dua, tiga, empat, lima, atau enam jam? Oh, tidak.
Sepertinya pekerjaan menulis jadi lebih gampang ketimbang mengajar.
Karena
itu saya pikir profesi guru itu...war byasaaah! You’re great!
b. Relawan tak boleh manja
Sebagai relawan, apapun kondisinya
ya harus dilakukan. Bahkan jika itu hujan deras berformalin (baca : awet
banget). Komitmen untuk datang sebagai relawan harus tetap dilaksanakan tak
boleh mundur meski hujannya tak mau diajak kerjasama. Lagipula hujan itu
tergolong halangan kecil. Mudah diatasi dengan memakai jas hujan. Bagaimana
jika tempatmu jauh, perlu waktu berjam-jam untuk sekedar ikut jadi relawan?
Seperti Mas Danial M. Zaki atau Diki Kurniawan? Keduanya membuktikan bahwa jarak tak jadi halangan.
Diki in action, source image : Rumah Literasi Banyuwangi |
Diki Kurniawan, pelajar dari Jember, rela datang jauh-jauh
untuk jadi relawan di ISL Batch 3. Sempat ketinggalan kereta, kesasar karena tak tahu
Banyuwangi, dan harus mengeluarkan dana lebih karena kesasar tadi, tapi Diki
akhirnya sampai juga di base camp dan ikut serta jadi videografer untuk acara
esok hari. Diki belum genap 16 tahun, tapi tekadnya luar biasa. Terlebih ia
datang dari keluarga sederhana. Hanya diasuh nenek, sementara orang tuanya
merantau ke Jayapura. Jadi penjual sayur-mayur disana. Proud of you, boy!
Mas Danial tinggal di Malang bekerja
di Surabaya. Tapi, ia mau bersusah-payah datang di hari H pelaksanaan ISL Batch
3 menggunakan travel untuk jadi relawan sehari. Berangkat malam, sampai di
Banyuwangi pagi, lalu meneruskan perjalanan ke rest area Jambu (area menuju
Kawah Ijen) dengan ojek, melakukan tugasnya sebagai fotografer, lalu
pruung...balik ke Surabaya malam harinya. Crazy,
huh? Maybe...But not for him I think.
Mas Zul (Achmad Zulkarnain) justru
lebih keren lagi. Terlahir istimewa—dengan kaki pendek (tak sampai pertengahan paha) dan tangan yang hanya sampai siku saja, Mas
Zul bekerja sebagai fotografer. Dalam ISL Batch 3 kali ini ia sebenarnya
melamar posisi fotografer, tapi didapuk jadi relawan profesi (inspirator).
Sempat sebelum kami yang tergabung dengan rombongan Ibu Ufa mencapai Rest Area
Jambu, kami mendengar kesulitannya. Sepeda motor yang hendak di bawa naik
kesana terkena hujan. Ia takut tidak bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu.
Kalaupun bisa naik paling hanya sampai Banyuwangi kota saja, baru kemudian
dilanjutkan dengan ojek menuju Jambu-Licin.
Achmad Zulkarnain-humble and nice guy, source : Achmad Zulkarnain |
Ketika Ibu Ufa mengkhawatirkan
bagaimana ia akan naik ojek nanti, saya bertanya-tanya seperti apa sebenarnya
Mas Zul ini. Barulah ketika ia datang menggunakan motornya yang dimodifikasi
mirip mobil gokart, saya paham kenapa. Saya juga akhirnya mengerti mengapa ia
takut tidak sampai Rest Area Jambu tepat waktu, bahkan terancam gagal. Motor
yang dipakainya teramat rendah, genangan rendah di jalan yang tak berakibat
apapun bagi motor biasa bisa jadi bencana bagi kendaraan yang dipakai Mas Zul.
Salut!
Yang lainnya tak kalah hebatnya,
sepertinya jika saya tulis semua di blog bisa berlembar-lembar nih ceritanya.
c. Jadi relawan kegiatan sosial harus
rela nombok dan ikhlas
Sempat setelah acara berlalu saya ngobrol sama Mbak
Hikmah, relawan fasilitator sekaligus salah satu pengurus RLB, soal pendanaan.
Saya tanya untuk melakukan segala matriks kegiatan RLB (Rumah Literasi
Banyuwangi) seperti ISL Batch 3 hari itu dananya dari mana. Di jawab kebanyakan
urunan sendiri selain dapat dari penjualan merchandise (kaos atau pin). Saya
tanya demikian bukan tanpa alasan. Untuk kegiatan seperti ISL (Inspirasi Rumah Literasi) Batch
3 yang cuma sehari pasti butuh dana
lumayan. Entah banner, pernak-pernik kecil lainnya, makan dan minum bagi para
seluruh relawan yang terlibat hari itu, serta hal-hal lain yang tak terlihat.
Itu baru dana. Lha tenaga dan pikiran? Jelas banyak yang
tak masuk hitungan. That’s why saya
bilang orang-orang ini pilihan. Doa saya semoga mereka selalu diberi keberkahan
dan kebaikan. Kita masih butuh orang-orang seperti mereka.
d. Selalu berpikiran positif
Merancang acara seperti ISL Batch 3 ini perlu sikap dan
pikiran yang positif. Karena hasilnya tak langsung nampak. Memberi inspirasi
bak menanam benih ajaib. Benih ini tak bisa kita prediksi akan seperti apa
jadinya kelak. Matikah, hidupkah, jadi beringin yang besarkah dengan pokok dan
cabang yang memayungi bawahnya, atau jadi rumpun bambu yang meski tak berbuah
tapi manfaatnya luar biasa? Siapa yang bisa menduga? Tak satupun bisa.
Tapi, bak petani yang tekun. Mereka terus berusaha
menanam, meski bibit ajaib ini belum ketahuan bakalan jadi apa. Terus saja
bergerak di lahan-lahan kaum marjinal. Menyebarkan kebaikan, berharap hal yang
mereka lakukan membawa manfaat meski kecil, sekecil biji sawi yang berjatuhan.
Finally, saya hanya ingin bilang terima kasih untuk
Allah. Setelah perjalanan ke beranda negeri, Kabupaten Belu yang berbatasan
dengan Timor Leste dan melihat sendiri bagaimana pendidikan disana, saya
diberikan berkah jadi relawan ISL inspirator di area sendiri—Banyuwangi. Kedua
perjalanan itu membuka mata saya, masih banyak orang-orang hebat di luar sana.
Yang rela berbuat baik demi negerinya, tanpa minta apa-apa.
Sosok seperti Mas Zul ini sangat luar biasa. Bagaimana ia mengalahkan pertarungan terbesarnya.
BalasHapusKelas semacam ini sudah menjadi program wajib tahunan, dan memang sangat mempengaruhi anak-anak.
Sukses selalu tuk ISL
terima kasih Mbak Susindra, mereka memang luar biasa!
Hapusreally really inpiring mb, really awesome , masya Alloh luar biasa , mulia sekali , sampai g bisa berkata-kata lagi
BalasHapusbenar sekali mbak, they're inspiring. Terima kasih komen dan mampirnya
Hapuskeren dan seru acarana ya Mbak. Ini bagus banget. Aku pingin suatu hari ikut bikin kelas inspirasi juga nih. Yg Mas Zul, baru aja aku baca profilnya di tabloid
BalasHapuswah, jadi Mbak Wahyu sudah baca profilnya Mas Zul? Ahahai, keren ya beliau.
HapusInsyaAllah doa mbak wahyu soal bikin kelas inspirasi itu diijabah Allah, amin
Foto kaki-kaki relawan itu bikin greget tersendiri, perjuangan merEka untuk anak-anak negri patut diapresiasi
BalasHapuswa...itu dia mbak, Munasyaroh. Kalau mereka baca ini, Insyaallah ucapan mbak semangat bagi mereka.
HapusHehehe selamat dan terima kasih telah menginspirasi calon penerus bangsa, diedisi selanjutnya gabung lagi ya, dan sebarkan virus ini ketemen2 lainnya.
BalasHapusHallo, Mas Shandi. Waduh, terima kasih udah datang kemari. Hahaha...ketemu jugan di blog
Hapusmenginspirasi, thanks mbak, thanks mas zul!
BalasHapussalam
gabrilla
Jd inspirasi buat anak2 sd emang ga gampang selain mereka susah diatur mereka emang masih pengen bergerak semaunya sendiri. Tp disitu tantangannya ihihi
BalasHapus