ISL (INSPIRASI SEKOLAH LITERASI BANYUWANGI) BATCH 3 : GERAKAN KECIL YANG MENGESANKAN


Relawan ISL Batch 3 dan murid SDN Tamansari 4-Licin berfoto bersama

            Beberapa tahun lalu seorang karib saya, Dee, mengajak saya untuk mengumpulkan teman dan memberi inspirasi ke sekolah-sekolah. Mereka akan menceritakan profesinya sendiri-sendiri, berharap itu bisa menjadikan anak-anak yang kami temui bercita-cita setinggi mungkin. Waktu itu saya menolak. Dengan gamblang saya mengatakan bahwa apa yang dia lakukan itu tak semudah membalik telapak tangan. Mengumpulkan dan meminta mereka meluangkan waktu di hari kerja bukan perkara gampang. Yang paling penting adalah perijinan. Saya jenis manusia spontan, paling malas kalau harus menghadapi birokrasi macam-macam. Padahal kalau sudah berurusan dengan pihak sekolah banyak yang harus dilakukan. Harus ke UPTD, harus ke sekolah, dan ngurus segala tetek bengek lain demi menyukseskan acara. Apalagi kami tinggal di kota yang berbeda. Dia dimana, saya dimana. Dia juga tak selalu pulang setiap pekan. Ini ngaturnya gimana? Kalau ada yang bikin acara seperti itu dan saya tinggal nyemplung tanpa repot jadi panitia ya mangga, pikir saya spontan.

Seluruh relawan inspirator, fasilitator, videografer, dan fotografer berkumpul di Rest Area Jambu


            Allah sepertinya mencatat kata-kata saya yang terakhir itu. Tanggal 28 Oktober 2016 saya membaca pengumuman pendaftaran “Inspirasi Sekolah Literasi Jilid 3” yang diunggah Rumah Literasi Banyuwangi (RLB). Semula tidak terpikir oleh saya untuk ikutan. Selain merasa tidak memiliki keahlian yang diperlukan (inspirator, fasilitator, videografer, dan fotografer), saya juga tengah mengejar tenggat waktu lomba menulis. Tetapi, sebagai bentuk dukungan saya share pengumuman itu sehari  kemudian.  Tanggal 1 November, tak tahu kenapa saya tergerak untuk untuk mendaftar sebagai relawan profesi (inspirator), meski dalam hati saya merasa “kok gaya betul” saya melamar posisi ini. Saya memang penulis, tapi kelas teri. Apa yang saya bisa bagikan untuk menginspirasi? Tapi, sepertinya memang sudah begitu jalannya, penulis kelas teri ini akhirnya ikut jadi inspirator pada ISL (Inspirasi Rumah Literasi Banyuwangi) Batch 3.


JADI INSPIRATOR TAK SEGAMPANG YANG DIKIRA
 
source image : Rumah Literasi Banyuwangi
            Jadi inspirator, berdiri di depan kelas, dan bercerita apa profesi saya pasti bisa. Begitu pikir saya. Bicara di depan umum toh tak asing buat saya. Bisalah, meski nanti ada belibetnya. Lagi-lagi saya begitu yakinnya. Begitu naik panggung (baca : masuk dalam kelas), hwalaah tidak segampang itu. Selama satu jam berada di dalam kelas, doa saya semoga jam cepat berlalu (ngakak jaya).
            Sungguh, tak mudah ternyata memberi penjelasan pada anak-anak sembari menjaga mood mereka. Membuat mereka tetap fokus pada penjelasan kita tanpa kehilangan ketertarikannya. Oi, oi...kalau situasi itu digambarkan dalam kartun pastilah sudah muncul palu di atas kepala saya. Lalu si palu memukul-mukul dengan sendirinya sebagai tanda saya kehabisan ide. Hahahaha...
            Saya berusaha melemparkan beberapa permainan untuk membuat suasana di kelas tetap cerah-ceria. Aish, aish...susah ya? Usaha maksimal saya tak berhasil memancing “kegilaan” anak-anak itu keluar. Haduuh, kebayang deh kalau jadi guru kelas mereka dan harus menerangkan selama berjam-jam. Kayaknya saya bakalan mimisan. Swear!
 
para fasilitator mengajar anak-anak lagu yang seru
             Rupanya relawan yang lain juga merasakan hal yang sama. Hampir semua mengaku ternyata sulit juga menghidupkan suasana kelas. Ada masa-masa dimana moment “krik-krik” merajalela dan kita berpikir keras bagaimana cara keluar dari situasi “awkward” itu dengan selamat.
            Beruntung jam berikutnya diteruskan oleh sang fasilitator, jadi saya bisa istirahat, menghela napas lega, dan sibuk foto-foto kondisi kelasnya. Melihat caranya handle kelas saya tahu, saya masih perlu mengasah pedang...eh keahlian macam itu jika kelak ikutan acara ini lagi.

HAL-HAL PENTING YANG SAYA DAPATI SETELAH KELAR ACARA
            Sepertinya bukan mereka, anak-anak sekolah ataupun rekan-rekan RLB, yang beruntung karena saya ikut jadi inspirator disana. Justru sebaliknya, sayalah yang beruntung mendapatkan pengalaman berharga antara lain :
a.      Sulitnya jadi guru
            Sejam jadi relawan profesi (inspirator) dan harus bercerita membuat saya tahu betapa sulitnya jadi guru. Kau harus bisa menerangkan dengan gamblang, suaramu juga harus lantang agar seluruh kelas bisa mendengar. Syukur anak muridnya pintar-pintar, tapi bagaimana jika kebalikan? Mungkin mereka sulit konsentrasi, pasif, atau tidak gampang menerima pelajaran...duh mak kudu sabar. Jika sejam rasanya tenggorokan sudah kering bagaimana jika dua, tiga, empat, lima, atau enam jam? Oh, tidak. Sepertinya pekerjaan menulis jadi lebih gampang ketimbang mengajar.
            Karena itu saya pikir profesi guru itu...war byasaaah! You’re great!
b.      Relawan tak boleh manja
            Sebagai relawan, apapun kondisinya ya harus dilakukan. Bahkan jika itu hujan deras berformalin (baca : awet banget). Komitmen untuk datang sebagai relawan harus tetap dilaksanakan tak boleh mundur meski hujannya tak mau diajak kerjasama. Lagipula hujan itu tergolong halangan kecil. Mudah diatasi dengan memakai jas hujan. Bagaimana jika tempatmu jauh, perlu waktu berjam-jam untuk sekedar ikut jadi relawan? Seperti Mas Danial M. Zaki atau Diki Kurniawan? Keduanya membuktikan bahwa  jarak tak jadi halangan. 

Diki in action, source image : Rumah Literasi Banyuwangi
              Diki Kurniawan,  pelajar dari Jember, rela datang jauh-jauh untuk jadi relawan di ISL Batch 3. Sempat  ketinggalan kereta, kesasar karena tak tahu Banyuwangi, dan harus mengeluarkan dana lebih karena kesasar tadi, tapi Diki akhirnya sampai juga di base camp dan ikut serta jadi videografer untuk acara esok hari. Diki belum genap 16 tahun, tapi tekadnya luar biasa. Terlebih ia datang dari keluarga sederhana. Hanya diasuh nenek, sementara orang tuanya merantau ke Jayapura. Jadi penjual sayur-mayur disana. Proud of you, boy!

 
Danial M. Zaki, image source : Rumah Literasi Banyuwangi
             Mas Danial tinggal di Malang bekerja di Surabaya. Tapi, ia mau bersusah-payah datang di hari H pelaksanaan ISL Batch 3 menggunakan travel untuk jadi relawan sehari. Berangkat malam, sampai di Banyuwangi pagi, lalu meneruskan perjalanan ke rest area Jambu (area menuju Kawah Ijen) dengan ojek, melakukan tugasnya sebagai fotografer, lalu pruung...balik ke Surabaya malam harinya. Crazy, huh? Maybe...But not for him I think. 
 
Achmad Zulkarnain, source image : Rumah Literasi Banyuwangi
            Mas Zul (Achmad Zulkarnain) justru lebih keren lagi. Terlahir istimewa—dengan kaki pendek (tak sampai pertengahan paha) dan tangan yang hanya sampai siku saja, Mas Zul bekerja sebagai fotografer. Dalam ISL Batch 3 kali ini ia sebenarnya melamar posisi fotografer, tapi didapuk jadi relawan profesi (inspirator). Sempat sebelum kami yang tergabung dengan rombongan Ibu Ufa mencapai Rest Area Jambu, kami mendengar kesulitannya. Sepeda motor yang hendak di bawa naik kesana terkena hujan. Ia takut tidak bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Kalaupun bisa naik paling hanya sampai Banyuwangi kota saja, baru kemudian dilanjutkan dengan ojek menuju Jambu-Licin. 



Achmad Zulkarnain-humble and nice guy, source : Achmad Zulkarnain

            Ketika Ibu Ufa mengkhawatirkan bagaimana ia akan naik ojek nanti, saya bertanya-tanya seperti apa sebenarnya Mas Zul ini. Barulah ketika ia datang menggunakan motornya yang dimodifikasi mirip mobil gokart, saya paham kenapa. Saya juga akhirnya mengerti mengapa ia takut tidak sampai Rest Area Jambu tepat waktu, bahkan terancam gagal. Motor yang dipakainya teramat rendah, genangan rendah di jalan yang tak berakibat apapun bagi motor biasa bisa jadi bencana bagi kendaraan yang dipakai Mas Zul. Salut!
            Yang lainnya tak kalah hebatnya, sepertinya jika saya tulis semua di blog bisa berlembar-lembar nih ceritanya.

c.       Jadi relawan kegiatan sosial harus rela nombok dan ikhlas

 
seluruh relawan ISL Batch 3, imager source : Rumah Literasi Banyuwangi
            Sempat setelah acara berlalu saya ngobrol sama Mbak Hikmah, relawan fasilitator sekaligus salah satu pengurus RLB, soal pendanaan. Saya tanya untuk melakukan segala matriks kegiatan RLB (Rumah Literasi Banyuwangi) seperti ISL Batch 3 hari itu dananya dari mana. Di jawab kebanyakan urunan sendiri selain dapat dari penjualan merchandise (kaos atau pin). Saya tanya demikian bukan tanpa alasan. Untuk kegiatan  seperti ISL (Inspirasi Rumah Literasi) Batch 3  yang cuma sehari pasti butuh dana lumayan. Entah banner, pernak-pernik kecil lainnya, makan dan minum bagi para seluruh relawan yang terlibat hari itu, serta hal-hal lain yang tak terlihat. 

 
kaki-kaki para relawan
            Itu baru dana. Lha tenaga dan pikiran? Jelas banyak yang tak masuk hitungan. That’s why saya bilang orang-orang ini pilihan. Doa saya semoga mereka selalu diberi keberkahan dan kebaikan. Kita masih butuh orang-orang seperti mereka.
d.      Selalu berpikiran positif
            Merancang acara seperti ISL Batch 3 ini perlu sikap dan pikiran yang positif. Karena hasilnya tak langsung nampak. Memberi inspirasi bak menanam benih ajaib. Benih ini tak bisa kita prediksi akan seperti apa jadinya kelak. Matikah, hidupkah, jadi beringin yang besarkah dengan pokok dan cabang yang memayungi bawahnya, atau jadi rumpun bambu yang meski tak berbuah tapi manfaatnya luar biasa? Siapa yang bisa menduga? Tak satupun bisa.
            Tapi, bak petani yang tekun. Mereka terus berusaha menanam, meski bibit ajaib ini belum ketahuan bakalan jadi apa. Terus saja bergerak di lahan-lahan kaum marjinal. Menyebarkan kebaikan, berharap hal yang mereka lakukan membawa manfaat meski kecil, sekecil biji sawi yang berjatuhan.

            Finally, saya hanya ingin bilang terima kasih untuk Allah. Setelah perjalanan ke beranda negeri, Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Timor Leste dan melihat sendiri bagaimana pendidikan disana, saya diberikan berkah jadi relawan ISL inspirator di area sendiri—Banyuwangi. Kedua perjalanan itu membuka mata saya, masih banyak orang-orang hebat di luar sana. Yang rela berbuat baik demi negerinya, tanpa minta apa-apa.
           

Komentar

  1. Sosok seperti Mas Zul ini sangat luar biasa. Bagaimana ia mengalahkan pertarungan terbesarnya.

    Kelas semacam ini sudah menjadi program wajib tahunan, dan memang sangat mempengaruhi anak-anak.

    Sukses selalu tuk ISL

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih Mbak Susindra, mereka memang luar biasa!

      Hapus
  2. really really inpiring mb, really awesome , masya Alloh luar biasa , mulia sekali , sampai g bisa berkata-kata lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali mbak, they're inspiring. Terima kasih komen dan mampirnya

      Hapus
  3. keren dan seru acarana ya Mbak. Ini bagus banget. Aku pingin suatu hari ikut bikin kelas inspirasi juga nih. Yg Mas Zul, baru aja aku baca profilnya di tabloid

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, jadi Mbak Wahyu sudah baca profilnya Mas Zul? Ahahai, keren ya beliau.
      InsyaAllah doa mbak wahyu soal bikin kelas inspirasi itu diijabah Allah, amin

      Hapus
  4. Foto kaki-kaki relawan itu bikin greget tersendiri, perjuangan merEka untuk anak-anak negri patut diapresiasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa...itu dia mbak, Munasyaroh. Kalau mereka baca ini, Insyaallah ucapan mbak semangat bagi mereka.

      Hapus
  5. Hehehe selamat dan terima kasih telah menginspirasi calon penerus bangsa, diedisi selanjutnya gabung lagi ya, dan sebarkan virus ini ketemen2 lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo, Mas Shandi. Waduh, terima kasih udah datang kemari. Hahaha...ketemu jugan di blog

      Hapus
  6. menginspirasi, thanks mbak, thanks mas zul!

    salam
    gabrilla

    BalasHapus
  7. Jd inspirasi buat anak2 sd emang ga gampang selain mereka susah diatur mereka emang masih pengen bergerak semaunya sendiri. Tp disitu tantangannya ihihi

    BalasHapus

Posting Komentar