Saya
berpikir Ibu saya akan hidup lama. Bisa mendampingi saya menikah, melahirkan
anak-anak, dan melihat mereka tumbuh menjadi dewasa. Tapi, Allah Sang Maha
Kuasa itu memiliki skenario berbeda. Ibu saya dipanggilnya pulang dua bulan
sebelum ulang tahunnya yang ke-59.
Saya
masih ingat, jauh-jauh hari Ibu sering kali bilang bahwa dia tak ingin
merepotkan siapapun saat meninggal. Ibu ingin saat hari itu tiba ia tidak mengalami
sakit panjang hingga menyusahkan seluruh
anggota keluarga. Allah yang baik mendengar dan mengabulkan pintanya. Ibu
meninggal tanggal 13 September pukul 2.30 setelah mengeluh sesak di dadanya.
Saya
ingat betul, tengah malam itu Bapak membawa Ibu ke rumah sakit dengan bantuan
Om saya. Saya tidak ikut karena harus jaga rumah. Tak berapa lama terdengar
suara mobil memasuki halaman, saya berlari menyongsong Om dan menanyakan
bagaimana keadaan Ibu saya.Tapi jawaban yang saya dengar mengejutkan.
Dengan
suara terbata-bata Om berkata ,”Ibu sudah tidak ada, Nduk...”
Seperti
orang linglung saya menatapnya. Saya tidak menangis. Saya juga tidak bisa
berkata apa-apa. Saya hanya merasa kosong di dalam sana. Sekosong botol yang
isinya ditumpahkan paksa. Saya kembali pulang dan terdiam di kamar
beberapa waktu lamanya. Saya perlu menenangkan diri sebelum akhirnya memberitahukan kabar ini.
Ini penting karena ketenangan membuat saya mampu mengontrol emosi dan
perkataan. Sulit untuk berkata dengan lancar bila hati saya diliputi kesedihan.
Saya
ambil napas dalam, saya katakan pada diri sendiri bahwa saya mampu melampaui
musibah ini. Bukankah ada dalil yang mengatakan “Aku sesuai dengan prasangka
hamba-Ku”? Berulang-ulang saya mengatakan itu hingga mampu menguasai diri
sendiri. Barulah setelah itu saya mengambil ponsel dan menghubungi kedua adik
saya, Wendy dan Wawan. Kemudian disusul keluarga dan teman-teman. Beberapa
mengangkat telepon saya dan menangis begitu mendengar apa yang saya sampaikan.
Lainnya tidak bisa dihubungi, meski nadanya tersambung tapi telepon saya tidak
diangkat. Saya memahaminya. Hari masih terlalu dini. Orang-orang pasti masih
terlelap dalam tidurnya.
Suara
mobil lain tiba bebeberapa saat kemudian, membawa Ayah dan jenazah Ibu saya. Di
atas meja panjang yang dipesan Ibu beberapa bulan sebelumnya, disanalah beliau
dibaringkan. Ibu masih seperti semula, secantik yang saya ingat. Hanya saja
wajahnya lebih pucat. Ayah saya tampak berduka. Meski berusaha menahan, tapi
saya bisa membaca dari air mata yang terkadang menitik dan segera diusapnya.
Adik saya, Wawan, yang baru saja tiba nampak terpukul. Ia menyesal karena pagi hari saat hendak
berangkat ke tempat kerja tidak pamitan karena tergesa-gesa. Ia diam saja,
termenung di kamarnya, mungkin tengah menasehati dirinya sendiri agar tegar
menghadapi kenyataan.
Saudara-saudara
yang mulai berdatangan tak bisa menahan tangisnya. Rata-rata mengungkapkan
keterkejutannya mendengar kabar duka dari saya. Tidak heran mengingat Ibu saya
nampak sangat sehat di hari-hari akhirnya. Tiga hari sebelumnya ibu masih
jalan-jalan pagi di seputar rumah, menyapa dan tersenyum pada tetangga. Namun,
Minggu pagi ia sudah berpulang ke haribaan Allah. Saya tidak bisa melakukan
apapun selain menepuk pundak mereka. Mengatakan agar mereka tidak menangisi Ibu
saya. Sudah begitu jalannya, Ibu meninggal tanpa memberi tanda. Kepada adik
saya yang berada di Kalimantan, saya dan Bapak berpesan agar fokus saja pada
pekerjaannya disana. Tidak perlu memaksa diri untuk pulang. Jika bisa kami
bersyukur, jika tidak juga tak apa-apa. Kami sangat memaklumi keadaannya.
Pagi
tiba, orang-orang yang melayat mulai berdatangan ke rumah saya. Beberapa kali
terdengar tangisan keras ketika memasuki ruangan, dan seperti semula saya
selalu berkata ,”Tidak apa-apa, jangan sedih. Jangan menangisinya. Ibu memang
sudah waktunya meninggal dunia.”
Orang-orang
berkata betapa tegarnya saya. Saya masih bisa tersenyum saat menyambut tamu dan
menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Menjawab dengan tenang ketika ada yang
bertanya kronologis bagaimana Ibu meninggal. Bahkan memberi penghiburan ketika
mereka terisak-isak di depan jasad Ibu saya. Sesekali saya turut menitikkan air
mata, tetapi menurut mereka selebihnya saya baik-baik saja. Benarkah demikian?
Sesungguhnya tidak. Jauh di dalam sana saya merasakan kesedihan seperti mereka.
Bahkan lebih. Tapi, saya sadar meratap
secara berlebihan takkan mengubah keadaan. Ibu tetap berpulang karena Allah
sudah menentukan.
mengantar kepergian ibu laiknya mengantar kepergian mereka yang hendak pulang kampung |
Saya
berpikir daripada menganggapnya meninggal kenapa saya tak menganggap Ibu pulang
ke kampung halaman. Laiknya mengantar kepergian mereka yang pulang kampung, tak
selayaknya saya mengantar kepergian Ibu dengan wajah muram. Bukankah perjalanan
yang ditempuh ibu selama 59 tahun sesungguhnya untuk itu? Bila ia sudah
menyiapkan kepulangannya begitu lama, mengapa saya tidak merelakannya? Saya
harus ikhlas, tak boleh lagi merintangi jalannya dengan tangis atau ratapan. Kurang
lebih pukul sembilan jenazah Ibu dibawa ke pemakaman. Tak lama kemudian Ibu
segera dikebumikan. Saya turut menyaksikannya proses dari awal hingga akhir.
Doa saya semoga Ibu mendapat tempat yang baik di sisi Allah.
Jika
ada yang bertanya apakah saya bisa melewati rasa kehilangan Ibu dengan mulus?
Saya rasa tidak juga. Perasaan saya naik turun seperti halnya roller coaster. Tapi, saya tidak mengelaknya. Ketika saya sedih,
saya menuliskan perasaan saya. Saya tulis sisi negatif dan positif kehilangannya, hingga pelajaran besar yang
diberikan Allah di hari Ibu meninggal. Tulisan itulah yang kemudian saya edit
dan kirimkan ke sebuah website Islam, berharap apa yang saya alami itu bisa membantu
mereka yang mengalami situasi sama.
Acap
saat rindu pada Ibu, saya menitikkan air mata. Di saat itulah saya bertanya mengapa
harus ibu saya, bukan ibu orang lain Tapi, ketika saya melihat anak kecil-kecil
lewat di hadapan saya bersama ibunya saya memahami kenapa. Allah memilih saya
karena saya sudah lebih siap menghadapi musibah bersebut, bukan lainnya. Allah
tahu saya bisa melewatinya ketimbang bocah-bocah kecil itu.
Terkadang
rasa rindu itu juga membawa saya untuk berderma pada sesama. Memberikan sedikit
uang kepada mereka yang tak berpunya untuk mengenang apa yang Ibu lakukan tanpa
sepengetahuan saya. Rupanya hal-hal itu memberikan manfaat luar biasa.
Bersinggungan dengan mereka membuat kemalangan yang saya rasa jadi tiada
artinya. Mengetahui masalah hidup mereka membuat saya bisa melupakan masalah
hidup saya. Itu membantu saya untuk melihat masalah dari sudut yang berbeda,
sudut yang lebih positif.
Pada akhirnya ini membawa energi yang baik
bagi saya. Membawakan optimisme sekaligus kesadaran bagi saya bahwa apa yang
saya alami adalah bagian dari ujian kehidupan. Tak satu pun manusia di dunia
ini yang akan kalis darinya. Dan ujian adalah bagian dari ketetapan-Nya.
Tersebut dalam surat Al Baqarah 155 bahwa setiap manusia pasti akan diuji dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, atau jiwa. Jadi mengapa saya
merasa jadi manusia yang paling malang sedunia? Yang saya lakukan adalah mengikhlaskan
dan menjalani ujian itu laiknya pendaki gunung, yang yakin kelelahannya akan
terbayar begitu melihat indahnya pemandangan di puncak.
Apakah
kau punya kisah kehilangan sepertiku? Kehilangan orang tua, saudara, kekasih,
sahabat, atau lainnya? Ah, tuliskan saja kisahmu. Ikutlah tantangan nulis bluevalley bersama Kak Jia Effendie. Tak perlu ragu. Mari berbagi tulisan, siapa tahu buah
pikirmu itu membuat orang lain yang senasib denganmu tak merasa
sendirian. Yuk...
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan nulis BlueValley bersama Jia Effendie
image source :
Jia Effendie
Jia Effendie
Aku malah mbrebes mili bacanya Mbak.
BalasHapusBelum pernah ngerasaian tapi pasti sangat berat. Terus semangat ya Mbak :)
Terenyuh bgt baca tulisannya mba, Ibu utk aku segala2nya jd kebayang kl beliau berpulang apakah aku bs setegar mba apa ngga...
BalasHapusbisa merasakan bagaimana rasanya ditinggal org yg kita sayangi, karena ayah saya pun sudah tiada. rasanya nyesek ya, ditinggalkan org tua tanpa ada tanda2 sakit
BalasHapusTulisannya begitu mengalir dan deskriptif, tapi satu yang bisa dipelajari. Memberikan penghormatan kepada orang yang meninggalkan kita dengan tetap optimis. Semoga saya bisa melakoninya...
BalasHapuskehilangan orang tua mmg sedih mendalam..bapak sy meninggal tanpa sy bisa lihat wajah terakhirnya krn sy jauh...sy hanya bisa melihat kuburannya pd esok harinya..semoga ibu saya bisa sehat..bisa jumpa lagi di lebaran ini
BalasHapusvery deep.....
BalasHapusspeechless
Kedua ortu saya masih lengkap, semoga diberi kesempatan memberikan yang terbaik sebelum salah satu dari kami dipanggil, Aamiin.. :(
BalasHapusSaya berbinar-binar haru membaca ini. Persis hampir mirip dgn apa yg Saya alami beberapa thn silam
BalasHapusVery beautiful story mbak...Ibu saya masih ada, tapi karena saya tinggal jauh darinya membuat saya rindu setengah mati setiap hari..
BalasHapusKata-katanya bikin air mataku ngalir, huhuhu, terharuuu.
BalasHapusSalam,
Shera.
Aku sampe speechless sebenarnya. Semoga amal ibadah ibunda mba, diterima dan beliau ditempatkan di tempat terbaik. Sabar dan tabah ya mba.
BalasHapusSegala doa baik menyertai ceritamu, dan ibu mbak, aamiin
BalasHapusSalam,
Rasya
Huaaaa.. Nangis.. Alfatihah buat ibunya mba, semoga tenang di alam sana 😢😢😢
BalasHapus