source image : https://pixabay.com |
Biologi selalu menjadi pelajaran favorit
saya di bangku SMA. Saya suka membaca segala sesuatu didalamnya, terlepas
gurunya pandai menerangkan atau tidak. Toh, masih ada bukunya. Kalau cara guru
menerangkan membosankan, tinggal buka paketnya saja. Beres. Lain halnya dengan
matematika. Mungkin karena pada dasarnya kurang suka segala sesuatu yang berbau
hitungan. Gurunya seenak apapun saya tetap ngos-ngosan mengejar.
Kembali ke pelajaran Biologi, Bu Sih Pitajeng
ini baru mengajar saya dan kawan-kawan di kelas tiga. Beliau sosok yang gesit, ramah, dan menyenangkan. Cara
mengajarnya mengasyikkan. Dan tidak
pernah menggunakan kekerasan, untuk membuat kami mendengarkannya. Intonasi
suara yang tinggi pun tidak. Belajar Biologi dengan beliau itu seperti
mendengarkan cerita. Saking ngalir dan enaknya bahkan pelajaran genetika yang rumit itu pun bisa kami terima dengan baik. Bisa dibilang tidak ada anak yang tidur sampai ngowoh karena bosan bila beliau menerangkan. Semua "on fire" jika jam mengajar beliau tiba.
Satu hal yang paling saya
ingat di tahun terakhir saya di SMA itu, adalah kami diperbolehkan menghiasi
buku catatan. Sebelum-sebelumnya kami tidak pernah menemui guru seperti ini. Guru yang lain standar saja. Datang ke kelas pada waktu jam pelajarannya, lalu
memberikan materi sementara kami mencatatnya.
Bu Sih berbeda. Sepertinya
beliau paham jika materi yang disajikan di tahun itu
memang membosankan, terlebih dengan
adanya pelajaran genetika yang membingungkan. Oleh sebab itu beliau mendorong
kami untuk belajar dengan fun. Kami dibebaskan menulis materi menggunakan
bolpoin warna-warni, bahkan didorong. Diberi ajang berkreasi, kami langsung mengiyakan. Jadi bisa dibayangkan
buku kami pun jadi seperti pelangi, penuh warna. Tidak
monoton sebagaimana pelajaran lainnya, di mana buku catatan hanya ditulisi dengan tinta hitam atau biru. Merah, ungu, atau merah muda? Warna-warna itu jelas tak ada kecuali di buku catatan Biologi.
Photo by Foto Garage AG AG from Pexels |
Serunya lagi, beliau juga senang mengapresiasi siapapun
yang bukunya dinilai mengasyikkan. Penghargaan seperti ini tak urung memacu kami
untuk "bersenang-senang" dengan pelajaran Biologi sampai tugas beliau
mengajar kami usai. Apakah beliau pensiun? Bukan. Kami lulus dan terbang melanjutkan hidup kami masing-masing.
Tahun berlalu,
masing-masing dari kami (murid-murid Bu Sih) meneruskan hidupnya sendiri-sendiri.
Ada yang memilih bekerja selepas SMA. Yang lain hijrah ke daerah berbeda untuk
meneruskan studinya. Termasuk saya yang diterima di Fakultas Pertanian. Di
tempat ini saya kembali bertemu dengan Biologi dan kerennya pelajaran beliau
masih tersimpan baik di otak saya, terutama bab genetika. Bahkan sampai sekarang pun saya
masih ingat. Gila ya! Padahal saya sudah lulus SMA sangat lama.
Sekarang jika saya menengok ke belakang, saya mulai menyadari bahwa pelajaran biologi di tahun terakhir kami sebagai siswa SMA
itu begitu menyenangkan karena dua hal. Pertama, beliau mampu menyederhanakan
kerumitan di pelajaran Biologi sehingga yang tidak paham pun mampu mengerti. Kedua, membuat muridnya senang dengan pelajaran biologi yang
membosankan itu dengan cara membiarkan kami berkreasi di buku catatan. Hal-hal ini tanpa sadar membuat kami terpacu untuk
terus mengikuti pelajarannya tanpa perlu pemaksaan. Lah buat apa dipaksa wong
senang. Ya ‘kan?
Beberapa waktu lalu, saya
bertemu putrinya, Tante Prima. Dari beliau saya tahu Bu Sih kini tinggal di
Jakarta, bersama salah satu putranya. Wah, senangnya saya. Setelah
bertahun-tahun baru kini mendengar lagi kabarnya. Tak ayal ini mengingatkan
saya di hari-hari ketika saya masih menjadi muridnya. Ia guru yang baik, yang
menginspirasi murid-muridnya untuk belajar dengan cara menyenangkan. Tak urung ini mengingatkan saya
pada sebuah quote keren :
“The
mediocre teacher tells. The good teacher explains.
The superior teacher
demonstrates.
The
great teacher inspires.” (William Ward)
Komentar
Posting Komentar