Wakil Bupati Banyuwangi, Yusuf Widyatmoko, turut memanggul tumpeng dari buah dan sayur-mayur |
Umumnya jenang suro terbuat
dari beras yang diolah bersama santan yang ditambahkan salam, serai, dan garam. Lantas disajikan
dengan perkedel, telur dadar, kering tempe (orang kerap menyebut orek tempe), kacang
bawang, dan ayam. Jika tidak ada ayam, semua lauk yang tersebut sebelumnya pun sudah
cukup. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah siraman kuah kare yang kental. Sewaktu
dinikmati nuansa gurih dan lembut akan mendominasi. Ditambah kering tempe yang
pedas manis, dadar telur, kacang bawang, perkedel serta ayam berbalut bumbu
kare, aduuh sedap nian!
Tahun berlalu ajang silaturahmi
semacam ini
tak sehebat dulu lagi. Saling hantar
jenang suro kepada saudara dan handai tolan perlahan menghilang. Jika dulu bisa mendapat berpiring-piring jenang suro dalam sehari, sekarang sudah jarang.
Kesibukan dan sempitnya waktu menjadi alasan. Namun demikian acara ini masih
kental dilaksanakan terutama di pedesaan. Di Banyuwangi acara ini bahkan
menjadi festival. Masuk dalam agenda tahunan dan ramai dikunjungi orang.
Tahun ini ada beberapa info yang
seliweran di beranda soal agenda suroan. Dari mulai Festival Grebeg Suro di
Pekulo, Barikan di Lemahbang Kulon, hingga Pagelaran Suroan di Temuguruh.
Kebetulan ada waktu luang, sehingga saya bisa mengikuti ketiga acara tersebut. Kok
cuma tiga? Ke mana desa lainnya? Apakah mereka tidak menyelenggarakan? Biasanya
diselenggarakan, akan tetapi tidak
sampai dijadikan festival atau pagelaran. Cukup diadakan di kampung
masing-masing secara sederhana. Jauh dari sorotan kamera dan ingar-ingar
penonton di tepi jalan desa. Lalu seperti apa suasana suroan di Banyuwangi? Mari nikmati
cerita di bawah
ini.
Grebeg Suro di
Pekulo
Jam menunjukkan pukul satu
lebih ketika acara dimulai. Panas memang, tetapi penonton antusias berjejer di
tepi jalan. Di pertigaan Pekulo, tempat acara dilangsungkan juga sudah ramai
orang. Saya menyelinap masuk ke dalam, tepatnya di bagian kiri panggung untuk
duduk tamu undangan. Nekat saja karena tidak mungkin mendesak orang-orang yang
sudah siap sedia sedari tadi untuk mendapatkan view terbaik. Meskipun sempat
takut diusir juga karena saya ujug-ujung masuk saja.
Seperti halnya acara lain,
tentu saja tak lengkap tanpa musik yang menggenapi. Tabuhan gending Banyuwangi
serta tarikan suara khas sinden berkumandang hingga Wakil Bupati, Yusuf
Widyatmoko, datang bersama rombongan. Tak berapa lama kemudian, acara inti pun
dibuka dengan tarian gandrung massal, gabungan siswa sekolah dasar di Kecamatan
Srono. Lantas diikuti dengan pidato-pidato seperti biasa. Pidato terakhir
disampaikan oleh Bapak Yusuf Widyatmoko.
Dalam kesempatan tersebut
beliau sempat mengujarkan pesan bijak dari masa silam. Kurang lebih ada sepuluh
yang beliau sebutkan. Salah satunya adalah “Urip iku urup”. Falsafah Jawa satu
ini sejatinya mengajarkan bahwa dalam hidup hendaknya kita memberi manfaat bagi
orang-orang di sekitar kita. Bukan malah sebaliknya.
Sekitar pukul setengah
dua, acara resmi dibuka dengan pemukulan terbang yang dilakukan oleh Wabup
beserta pejabat lainnya. Dilanjutkan dengan arak-arakan kirab tumpeng berjumlah
25 buah. Ada beragam jenis tumpeng yang diusung masyarakat Pekulo. Dari mulai
nasi kuning atau putih, hingga produk hortikultura semacam cabai, sawi, jagung,
wortel, tomat, terong, sampai kacang panjang pun ada. Di kiri-kanan jalan,
deretan penduduk sudah menunggu. Tak peduli teriknya matahari siang itu, semua
tetap bertahan. Menikmati acara hingga gunungan tumpeng terakhir menghilang
dari pandangan.
Konon di akhir kirab,
tumpeng yang diarak keliling kampun ini akan dipurak (diperebutkan). Saya sendiri tak ikut bagian ini. Selain
kepanasan, masih ada acara berikutnya yang harus saya datangi yakni barikan di
Lemahbang.
Barikan
Serentak Lima Dusun Di Lemahbang Kulon
Menurut warga setempat, barikan
konon berasal dari kata baris sak larikan
(berbaris menjadi satu larik). Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa
barikan berasal dari kalimat "Allahumma baarik
lanaa" yang artinya “berikanlah kami keberkahan”.
Acara ini sendiri sudah menjadi
agenda tahunan di Lemahbang. Setiap 1 Muharam datang, warga akan menggelar
acara tersebut di jalan, di mushola,
atau di salah satu rumah warga. Hanya saja tidak terkoordinasi seperti seperti
dua tahun belakangan. Di mana seluruh dusun di Lemahbang—Krajan Lor, Krajan Kidul,
Sukorejo, Talangrejo, dan Barurejo—serentak melaksanakan acara ini di jam dan waktu yang
sama. Tahun 2017, acara barikan dipusatkan di dusun Sukorejo. Sementara tahun
ini di dusun Krajan Lor. Tahun depan tentu saja berbeda, tergantung kesepatan
bersama. Keren ya?
Dananya dari mana?
Ternyata sebagian besar adalah swadaya masyarakat. Andil dari pemerintah desa
memang ada, tetapi tidak besar. Surya Marta berujar memang demikian yang mereka kedepankan.
Berupaya sendiri dan tidak bergantung pada kucuran dana demi terlaksananya
acara.
Lalu kapan acaranya
dilaksanakan? Pukul 15.00 waktu saya tiba, panita masih sibuk menyiapkan acara.
Dari mulai panggung hingga menggelar tikar di jalanan kampung. Baru pukul 16.00
acara digelar. Tentu saja diikuti seluruh warga yang datang sembari membawa
nasi dan kawan-kawannya yang ditaruh di atas nampan atau ancak. Teman nasi
tersebut biasanya berupa urap-urap dengan beragam lauk sebagai pilihan. Seperti
telur cit (telur bumbu petis), tahu dan tempe bumbu kare, ayam baik yang
dibumbui dengan santan atau goreng, sambal, mie goreng, sampai ikan goreng pun
ada. Saya pikir ini disesuaikan dengan masing-masing warga. Adanya apa, itu
pula yang dibawa. Ini justru mengasyikkan. Apalagi ditambah sambal, fyuuh ...
bikin liur menetes!
Jika di Pekulo suguhan
gending tradisional mendominasi, di Lemahbang hadrah yang mewarnai. Tidak hanya
disajikan di panggung utama, tetapi juga di tepi jalan sebelum acaranya
dilangsungkan dan dibuka oleh Camat Singojuruh, Muhammad Lutfi S.Sos. Serunya
perhelatan ini disiarkan langsung di radio Larasati, radio komunitas setempat.
Selain live streaming acara barikan
dari kelima desa. Benar-benar kekinian ya?
Usai dibuka, tentu saja
sampailah kita pada acara utama. Apalagi kalau tidak menikmati jenang suro yang
tersaji di depan mata. Disusul oleh nasi berikut lauk pauknya yang menggiurkan.
Jenang suronya sedikit beda, kacang yang biasa ditabur sebagai topping justru
dicampurkan di dalam adonan jenang. Wah, jadinya setiap suapan terasa ada
kres-kres rasa kacangnya. Gurihnya santan ditambah lauk suwiran ayam dan dadar
telur menambah mantap rasanya. Benar-benar bikin nagih, kawan!
Nasinya apalagi. Disajikan
di atas daun pisang, duh ... makan bersama nasi, urap-urap, dan lain-lainnya
itu juara! Apalagi makannya bersama-sama. Beih, nasi yang tadinya terlihat
banyak itu ludes tak tersisa.
Pagelaran Suroan
di Desa Temuguruh
Di sini malah lebih heboh
lagi. Acara sudah dilaksanakan sejak tanggal 12 September lalu. Ada jamasan
pusakan, ruwatan, pentas jaranan dan reog, hingga serta pagelaran wayang kulit
yang dilaksankan tanggal 14 September silam. Acara tersebut dipusatkan di Padepokan Joyo Purnomo atau Perguruan PAMU (Purwo
Ayu Mardi Utomo). Baru pada tanggal 15-16
September dihelat acara puncaknya.
Ngapain aja selama dua
hari itu? Macam-macam, ada pameran UMKM dan kuliner juga pertunjukan kesenian. Yang
datang nggak main-main, ada seniman manca yang datang ke sana untuk memeriahkan
acara tersebut. Empat diantaranya adalah Takeshi Lua dan Satoko Takaki dari
Jepang, Meri Tuulia Vikstrom dari Finlandia, dan Marco Piano dari Italia. Tentu
saja kesenian lokal tak diabaikan. Ada barong osing, terbang kuntulan, sampai seni
gegenjekan pun ada. Begitu juga seniman nusantara. Dalang wayang wolak-walik Ki
Joemali Darmoko hingga Tebo Aumbara (koreografer dari Ubud, Bali) pun turut
serta di dalamnya.
Acara puncak ini berakhir
Minggu (16/9/2018). Dimulai dengan pembuatan jenang suro masal yang melibatkan
lima wajan besar, lalu disusul kirab budaya keliling desa, dan ditutup dengan
barikan. Tidak seperti yang saya duga, kirabnya ternyata tidak jauh. Kurang
lebih satu 1 km.
Sepanjang acara kirab,
beberapa kali tamu-tamu dari manca yang ikut di dalamnya berfoto. Tidak hanya
dengan sesama anggota kirab, tetapi juga dengan penduduk setempat. Bahkan
sekembali dari Kirab pun beberapa orang masih dimintai foto. Duh, jadi itu kalau
saya yang ada di negara mereka bakalan dimintai foto gitu nggak sih? Hahahaha, ngarep!
Oh, iya ... soal
makanannya lupa dibahas di atas. Makanan yang dijajakan di pameran ini
rata-rata panganan tradisional. Sepert cenil, klepon, serabi, lanun, bolu
kering, sampai bakiak pun ada. Cemilan yang lagi digemari seperti bakso goreng,
sempol, dan tahu walik turut hadir pula di sini. Saya sempat mencicipi tahu
walik serta cenil dan kawan-kawannya (lanun dan ketan). Seplastik tahu walik
harganya Rp5.000, begitu juga sepincuk cenil, lanun, dan ketan. Beli sendiri?
Hahaha, enggak. Kebetulan ditraktir kawan lama, Yuniati (terima kasih, Bu
Guru), yang sedang mengantarkan murid-muridnya menari.
Sama seperti barikan di Lemahbang,
acara ini pun swadaya. Hasil gotong royong segenap warga dan pemerintah
desanya, didukung oleh pergerakan Hidora (Hiduplah Indonesia Raya).
Itu semua cerita saya.
Siapa tahu, mau ke Banyuwangi, nonton grebeg suro sudah tahu ‘kan mau kemana?
Salam.
Banyuwangi konon banyak festival kak. Tiap bulan betulkah ?
BalasHapusBetul, kadang sampai gempor kalau diikuti semua. Buanyak banget, ini bentar lagi ada event jazz gunung.
BalasHapus