TRADISI SUROAN DI KOTA SERIBU FESTIVAL BANYUWANGI

Wakil Bupati Banyuwangi, Yusuf Widyatmoko, turut memanggul tumpeng dari buah dan sayur-mayur


             Suroan memang memiliki cerita sendiri bagi saya. Sewaktu kecil, setiap tanggal 1 Suro tiba biasanya orang-orang sibuk membuat jenang. Lantas menghantarkannya ke tetangga, termasuk di dalamnya keluarga saya. Jadi bisa dibayangkan jika ada 30 orang tetangga dekat. Berarti yang harus disiapkan adalah tiga puluh piring.
             Umumnya jenang suro terbuat dari beras yang diolah bersama santan yang ditambahkan  salam, serai, dan garam. Lantas disajikan dengan perkedel, telur dadar, kering tempe (orang kerap menyebut orek tempe), kacang bawang, dan ayam. Jika tidak ada ayam, semua lauk yang tersebut sebelumnya pun sudah cukup. Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah siraman kuah kare yang kental. Sewaktu dinikmati nuansa gurih dan lembut akan mendominasi. Ditambah kering tempe yang pedas manis, dadar telur, kacang bawang, perkedel serta ayam berbalut bumbu kare, aduuh sedap nian!
            Tahun berlalu ajang silaturahmi semacam ini tak sehebat dulu lagi.  Saling hantar jenang suro kepada saudara dan handai tolan perlahan menghilang. Jika dulu bisa mendapat berpiring-piring jenang suro dalam sehari, sekarang sudah jarang. Kesibukan dan sempitnya waktu menjadi alasan. Namun demikian acara ini masih kental dilaksanakan terutama di pedesaan. Di Banyuwangi acara ini bahkan menjadi festival. Masuk dalam agenda tahunan dan ramai dikunjungi orang.
            Tahun ini ada beberapa info yang seliweran di beranda soal agenda suroan. Dari mulai Festival Grebeg Suro di Pekulo, Barikan di Lemahbang Kulon, hingga Pagelaran Suroan di Temuguruh. Kebetulan ada waktu luang, sehingga saya bisa mengikuti ketiga acara tersebut. Kok cuma tiga? Ke mana desa lainnya? Apakah mereka tidak menyelenggarakan? Biasanya  diselenggarakan, akan tetapi tidak sampai dijadikan festival atau pagelaran. Cukup diadakan di kampung masing-masing secara sederhana. Jauh dari sorotan kamera dan ingar-ingar penonton di tepi jalan desa. Lalu seperti apa suasana suroan di Banyuwangi? Mari nikmati cerita di bawah ini.

Grebeg Suro di Pekulo


            Jam menunjukkan pukul satu lebih ketika acara dimulai. Panas memang, tetapi penonton antusias berjejer di tepi jalan. Di pertigaan Pekulo, tempat acara dilangsungkan juga sudah ramai orang. Saya menyelinap masuk ke dalam, tepatnya di bagian kiri panggung untuk duduk tamu undangan. Nekat saja karena tidak mungkin mendesak orang-orang yang sudah siap sedia sedari tadi untuk mendapatkan view terbaik. Meskipun sempat takut diusir juga karena saya ujug-ujung masuk saja.
            Seperti halnya acara lain, tentu saja tak lengkap tanpa musik yang menggenapi. Tabuhan gending Banyuwangi serta tarikan suara khas sinden berkumandang hingga Wakil Bupati, Yusuf Widyatmoko, datang bersama rombongan. Tak berapa lama kemudian, acara inti pun dibuka dengan tarian gandrung massal, gabungan siswa sekolah dasar di Kecamatan Srono. Lantas diikuti dengan pidato-pidato seperti biasa. Pidato terakhir disampaikan oleh Bapak Yusuf Widyatmoko.
            Dalam kesempatan tersebut beliau sempat mengujarkan pesan bijak dari masa silam. Kurang lebih ada sepuluh yang beliau sebutkan. Salah satunya adalah “Urip iku urup”. Falsafah Jawa satu ini sejatinya mengajarkan bahwa dalam hidup hendaknya kita memberi manfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Bukan malah sebaliknya.
            Sekitar pukul setengah dua, acara resmi dibuka dengan pemukulan terbang yang dilakukan oleh Wabup beserta pejabat lainnya. Dilanjutkan dengan arak-arakan kirab tumpeng berjumlah 25 buah. Ada beragam jenis tumpeng yang diusung masyarakat Pekulo. Dari mulai nasi kuning atau putih, hingga produk hortikultura semacam cabai, sawi, jagung, wortel, tomat, terong, sampai kacang panjang pun ada. Di kiri-kanan jalan, deretan penduduk sudah menunggu. Tak peduli teriknya matahari siang itu, semua tetap bertahan. Menikmati acara hingga gunungan tumpeng terakhir menghilang dari pandangan.
            Konon di akhir kirab, tumpeng yang diarak keliling kampun ini akan dipurak (diperebutkan). Saya sendiri tak ikut bagian ini. Selain kepanasan, masih ada acara berikutnya yang harus saya datangi yakni barikan di Lemahbang.

Barikan Serentak Lima Dusun Di Lemahbang Kulon    

            Menurut warga setempat, barikan konon berasal dari kata baris sak larikan (berbaris menjadi satu larik). Akan tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa barikan  berasal dari kalimat "Allahumma baarik lanaa" yang artinya “berikanlah kami keberkahan”.
            Acara ini sendiri sudah menjadi agenda tahunan di Lemahbang. Setiap 1 Muharam datang, warga akan menggelar acara tersebut  di jalan, di mushola, atau di salah satu rumah warga. Hanya saja tidak terkoordinasi seperti seperti dua tahun belakangan. Di mana seluruh dusun di Lemahbang—Krajan Lor, Krajan Kidul, Sukorejo, Talangrejo, dan Barurejo—serentak melaksanakan acara ini di jam dan waktu yang sama. Tahun 2017, acara barikan dipusatkan di dusun Sukorejo. Sementara tahun ini di dusun Krajan Lor. Tahun depan tentu saja berbeda, tergantung kesepatan bersama. Keren ya?
            Dananya dari mana? Ternyata sebagian besar adalah swadaya masyarakat. Andil dari pemerintah desa memang ada, tetapi tidak besar. Surya Marta berujar  memang demikian yang mereka kedepankan. Berupaya sendiri dan tidak bergantung pada kucuran dana demi terlaksananya acara.
            Lalu kapan acaranya dilaksanakan? Pukul 15.00 waktu saya tiba, panita masih sibuk menyiapkan acara. Dari mulai panggung hingga menggelar tikar di jalanan kampung. Baru pukul 16.00 acara digelar. Tentu saja diikuti seluruh warga yang datang sembari membawa nasi dan kawan-kawannya yang ditaruh di atas nampan atau ancak. Teman nasi tersebut biasanya berupa urap-urap dengan beragam lauk sebagai pilihan. Seperti telur cit (telur bumbu petis), tahu dan tempe bumbu kare, ayam baik yang dibumbui dengan santan atau goreng, sambal, mie goreng, sampai ikan goreng pun ada. Saya pikir ini disesuaikan dengan masing-masing warga. Adanya apa, itu pula yang dibawa. Ini justru mengasyikkan. Apalagi ditambah sambal, fyuuh ... bikin liur menetes!
            Jika di Pekulo suguhan gending tradisional mendominasi, di Lemahbang hadrah yang mewarnai. Tidak hanya disajikan di panggung utama, tetapi juga di tepi jalan sebelum acaranya dilangsungkan dan dibuka oleh Camat Singojuruh, Muhammad Lutfi S.Sos. Serunya perhelatan ini disiarkan langsung di radio Larasati, radio komunitas setempat. Selain live streaming acara barikan dari kelima desa. Benar-benar kekinian ya?
            Usai dibuka, tentu saja sampailah kita pada acara utama. Apalagi kalau tidak menikmati jenang suro yang tersaji di depan mata. Disusul oleh nasi berikut lauk pauknya yang menggiurkan. Jenang suronya sedikit beda, kacang yang biasa ditabur sebagai topping justru dicampurkan di dalam adonan jenang. Wah, jadinya setiap suapan terasa ada kres-kres rasa kacangnya. Gurihnya santan ditambah lauk suwiran ayam dan dadar telur menambah mantap rasanya. Benar-benar bikin nagih, kawan!
            Nasinya apalagi. Disajikan di atas daun pisang, duh ... makan bersama nasi, urap-urap, dan lain-lainnya itu juara! Apalagi makannya bersama-sama. Beih, nasi yang tadinya terlihat banyak itu ludes tak tersisa.

Pagelaran Suroan di Desa Temuguruh

            Di sini malah lebih heboh lagi. Acara sudah dilaksanakan sejak tanggal 12 September lalu. Ada jamasan pusakan, ruwatan, pentas jaranan dan reog, hingga serta pagelaran wayang kulit yang dilaksankan tanggal 14 September silam. Acara tersebut dipusatkan di  Padepokan Joyo Purnomo atau Perguruan PAMU (Purwo Ayu Mardi Utomo). Baru  pada tanggal 15-16 September dihelat acara puncaknya.
            Ngapain aja selama dua hari itu? Macam-macam, ada pameran UMKM dan kuliner juga pertunjukan kesenian. Yang datang nggak main-main, ada seniman manca yang datang ke sana untuk memeriahkan acara tersebut. Empat diantaranya adalah Takeshi Lua dan Satoko Takaki dari Jepang, Meri Tuulia Vikstrom dari Finlandia, dan Marco Piano dari Italia. Tentu saja kesenian lokal tak diabaikan. Ada barong osing, terbang kuntulan, sampai seni gegenjekan pun ada. Begitu juga seniman nusantara. Dalang wayang wolak-walik Ki Joemali Darmoko hingga Tebo Aumbara (koreografer dari Ubud, Bali) pun turut serta di dalamnya.
            Acara puncak ini berakhir Minggu (16/9/2018). Dimulai dengan pembuatan jenang suro masal yang melibatkan lima wajan besar, lalu disusul kirab budaya keliling desa, dan ditutup dengan barikan. Tidak seperti yang saya duga, kirabnya ternyata tidak jauh. Kurang lebih satu 1 km.    
            Sepanjang acara kirab, beberapa kali tamu-tamu dari manca yang ikut di dalamnya berfoto. Tidak hanya dengan sesama anggota kirab, tetapi juga dengan penduduk setempat. Bahkan sekembali dari Kirab pun beberapa orang masih dimintai foto. Duh, jadi itu kalau saya yang ada di negara mereka bakalan dimintai foto gitu nggak sih? Hahahaha, ngarep!
            Oh, iya ... soal makanannya lupa dibahas di atas. Makanan yang dijajakan di pameran ini rata-rata panganan tradisional. Sepert cenil, klepon, serabi, lanun, bolu kering, sampai bakiak pun ada. Cemilan yang lagi digemari seperti bakso goreng, sempol, dan tahu walik turut hadir pula di sini. Saya sempat mencicipi tahu walik serta cenil dan kawan-kawannya (lanun dan ketan). Seplastik tahu walik harganya Rp5.000, begitu juga sepincuk cenil, lanun, dan ketan. Beli sendiri? Hahaha, enggak. Kebetulan ditraktir kawan lama, Yuniati (terima kasih, Bu Guru), yang sedang mengantarkan murid-muridnya menari.
            Sama seperti barikan di Lemahbang, acara ini pun swadaya. Hasil gotong royong segenap warga dan pemerintah desanya, didukung oleh pergerakan Hidora (Hiduplah Indonesia Raya).
           
            Itu semua cerita saya. Siapa tahu, mau ke Banyuwangi, nonton grebeg suro sudah tahu ‘kan mau kemana?

            Salam.

Komentar

  1. Banyuwangi konon banyak festival kak. Tiap bulan betulkah ?

    BalasHapus
  2. Betul, kadang sampai gempor kalau diikuti semua. Buanyak banget, ini bentar lagi ada event jazz gunung.

    BalasHapus

Posting Komentar