source : https://pixabay.com |
DITEGUR TUHAN
Merasa
cukup dengan pengetahuan agama, saya tidak merasa perlu untuk menambahnya. Sampai
satu hari saya ditegur Tuhan lewat peristiwa kecil yang berefek besar.
Sore
itu saya mendengar kumandang adzan dari surau kecil di timur kantor kepolisian.
Sang muadzin sudah tua, terdengar jelas dari suaranya. Tetapi, bukan itu yang
jadi pangkal kejengkelan melainkan kekukuhannya mengumandangkan adzan meski
tahu suaranya tak memenuhi syarat—buruk, gemetar, napasnya pendek, dan nadanya
asal. Parahnya lagi panjang-pendek yang harus diperhatikan dalam adzan
diterjangnya habis-habisan. Kentara bila sang muadzin tak paham tajwid dengan
benar.
”Ck,
muadzin tak becus tajwid begitu disuruh maju. Yang lainnya memang gak ada? Yang
muda-muda, yang paham cara ber-adzan kan ada?!” gerutu saya.
Di
detik itu juga, Allah mengusik hati kecil saya dan membuatnya bertanya
,”Bagaimana jika anak muda yang kau maksudkan tidak ada? Atau kalaupun ada
mereka tidak mau mengambil alih tugas itu dan memilih menjadi penggerutu
seperti kamu? Dan kamu sendiri bagaimana? Mengatai orang tak becus tajwid,
memangnya sudah berkaca? Lihatlah, kau sendiri tak lebih baik dari muadzin tua
itu. Ilmu tajwid-mu jauh dari sempurna!”
Saya
tertegun. Deretan kalimat itu membuat saya tercenung cukup lama. Perlahan
mendorong satu hal baru dalam diri saya, ingin mengaji kembali setelah sekian
lama merasa cukup dengan pengetahuan yang saya punya. Mengaji kembali dari nol. Tetapi, dimana? Memangnya ada tempat mengaji
yang mau menerima orang dewasa.
Tuhan
yang baik itu menunjukkan jalan lewat sahabat saya. Adiknya, Nik, tiap sore mengaji di tempat Pak
Munir. Saya tertarik untuk ikut dengannya.
“Kalau
mau besok juga bisa, Mbak. Nanti Mbak berangkat bareng saya,” ucap Nik pada
saya.
Saya
mengiyakan. Tetapi, sewaktu hari itu tiba saya nervous juga.
HAMPIR BATAL
Saya
hampir saja membatalkan untuk mengaji di tempat Pak Munir bareng Nik. Pangkalnya
apalagi kalau bukan pikiran macam-macam. Ya, saya khawatir di tempat mengaji nanti saya ditertawakan. Maklum, usia saya 28. Masa
ngaji lagi di usia demikian? Jika itu terjadi apa yang harus saya lakukan?
Ogah,
ah! Mending di rumah aja. Nggak perlu merepotkan diri mengaji kembali. Toh saya
sudah bisa sholat, membaca Al Qur-an, dan berjuta alasan lain yang intinya memberi
excuse atau pemakluman. Tetapi,
disisi lain saya juga berpikir, sejak kapan menuntut ilmu itu memalukan?
Lagipula tak ada batasan sampai umur berapa menuntut ilmu diperbolehkan.
Apalagi ilmu agama. Dari situlah akhirnya saya meneguhkan hati untuk tetap
berangkat mengaji. Mengulang semua dari nol lagi.
Dan
satu yang saya syukuri, apa yang saya khawatirkan di hari pertama itu sama
sekali tak terjadi. Tak ada ejekan atau tatapan mencemooh. Semua teman-teman
saya, yang notabene masih duduk di bangku SMP dan SMA menerima saya dengan
tangan terbuka.
MENGAJI KEMBALI, TANTANGAN TERSENDIRI
Tantangan
pertama itu bernama Nik.
Nik
bukan gadis biasa seperti pada umumnya. Sejak kecil ia tunanetra. Jika berjalan
bersamanya tentu tak bisa seenaknya. Kau harus memegang memegang lengannya,
bukan menggandeng tangan seperti biasa. Jalannya pun tak bisa seenak saya.
Kecepatannya harus sama agar Nik bisa berjalan dengan nyaman.
Itu
tidak gampang. Terutama untuk saya yang jalannya wuz...wuzz! Cepat sekali. Banyak orang yang mengeluh bila berjalan
dengan saya. Mereka bilang saya terlampau cepat, padahal menurut saya biasa
saja. Bahkan jika saya mengerem kecepatan pun mereka masih menganggap saya
terlalu cepat. Maka bisa dibayangkan bagaimana berjalan dengan Nik.
Karena
itu saya berusaha menurunkan kecepatan. Ritme langkah diatur agar Nik tidak
kerepotan. Tetapi bagaimanapun membiasakan hal baru itu bukan hal gampang.
Kerap saya berjalan begitu saja, lupa kalau ia tunanetra. Menggandengnya seolah
orang biasa. Tak ayal ia jadi kesulitan mengikuti langkah saya, atau bahasa
Jawanya kepontal-pontal.
Aduh,
Maak! Susah banget pikir saya. Cuma satu
yang bikin saya tak putus asa menggandengnya, saya membayangkan jadi orang
tuanya. Jika menggandeng saja sudah jadi tantangan, bagaimana dengan
mengasuhnya? Pasti tantangannya lebih besar.
Tantangan
kedua adalah teman-teman di tempat mengaji. Namanya remaja pasti beda dengan
orang dewasa. Cara mereka bercanda, bicara, bahkan berlaku tentu tak sama
dengan kita yang umurnya sudah jauh di atas mereka. Berisik, bila tersinggung
sedikit tak saling bertegur sapa, saban hari yang diomongin soal cinta, dan
obrolan lain khas remaja. Fyuuh, saya mengelap jidat mengikuti mereka. Tetapi,
bagaimanapun saya orang baru disana. Saya yang harus menyesuaikan dengan
mereka. Dan saya turunkan ekspektasi saya, mencoba mengikuti pola pikir mereka,
dan memahaminya sebagai sesuatu yang seru ketimbang menyebalkan.
Iya,
lama-lama ketika saya bisa menyelami mereka, saya tak lagi kesal. Bahkan kagum
karena mereka itu pejuang. Ada yang terpaksa putus sekolah meski pintar, lalu
bekerja di bengkel semata untuk membantu membiayai kedua orang tuanya. Ada yang
harus menjahit sepulang sekolah agar dapur keluarga tetap tegak dan bea sekolah
tetap terbayar. Lainnya bekerja membersihkan bawang putih atau bawang merah
dari tangkainya atau prithil menurut istilah mereka demi uang yang tak
seberapa. Tujuh kilo bawang putih atau bawang merah bersih dihargai Rp 200,00
kalau tidak salah. Jadi kau bisa hitung sendiri berapa kilo yang harus
dibersihkan demi uang Rp 10.000,00.
Sering
setelah pulang mengaji saya jadi nangis sendiri.
BELAJAR ILMU KEHIDUPAN DARI GURU DAN
TEMAN-TEMAN
Mengaji
memberikan saya tambahan ilmu yang banyak sekali. Fiqih, Ta’lim Muta’alim, dan
lain-lain saya terima disana. Tetapi, ada ilmu lain yang tanpa saya sadari ikut
terserap selama saya bergaul dengan guru saya dan teman-teman di Baitul Munir yaitu
ilmu kehidupan.
Mereka
mengajarkan saya untuk mensyukuri keadaan. Anak-anak yang kebanyakan tak mampu
itu mengajak saya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Mereka memang miskin
tapi bukan berarti miskin pula hatinya. Kerap saat yang satu mengalami kesulitan,
semua berbondong-bondong membantu tanpa pikir panjang. Seperti hari itu waktu
seorang anak di Baitul Munir kesulitan uang untuk bayar biaya sekolahnya, semua
berkumpul dan urunan bersama. Padahal kalau dipikir yang lain itu hidupnya
berat juga. Menurut logika ngapain sih pakai bantu lainnya kalau diri sendiri
saja masih sengsara? Tapi, yang saya lihat berbeda. Anak-anak itu menyingkirkan
egoisnya dan bersatu membantu teman yang kesulitan.
Saya
juga belajar untuk mempercayai apapun ketentuan Tuhan tanpa perlu
mempertanyakan. Baik atau buruk dari Tuhan, pasti bukan sebuah ketentuan
sembarangan. Tetapi, merupakan cara Tuhan menjadikan umat-Nya belajar. Tak ada
yang serba kebetulan dari rencana-Nya. Seringkali rasanya teramat berat, bahkan
tidak tertahan. Tetapi, dalam hidup mana sih yang tidak ada cobaan? Itulah yang
saya baca dari sikap Pipin dan Na’am, dua orang teman mengaji saya, yang
rumahnya saling berdekatan. Mereka memiliki nasib yang tak jauh berbeda. Tumbuh
di keluarga miskin dan harus rela membanting tulang di usia yang sangat muda,
mungkin 8-9 tahun. Hebatnya anak-anak ini tak pernah meminta. Prinsipnya jika
masih bisa mengatasi sendiri kesulitan hidup mereka, mereka akan berjuang. Tak
perlu menadahkan tangan. Saya tahu benar, karena saya pernah memberi yang dan
ditolak dengan tegas.
Disitu
pula saya belajar agar tak putus harapan. Bahkan jika lewat kacamata awam kau
tidak memiliki jalan keluar. Seperti yang dialami Pak Munir, guru mengaji saya.
Pak Munir bukan orang kaya. Sebagai tukang las penghasilannya tak seberapa.
Bahkan seringkali ia tidak mendapatkan uang karena tidak ada pelanggan datang.
Maka membangun mushola yang baik jelas diluar kemampuannya. Cuma doa, tekad,
dan usaha yang ia punya selebihnya Allah yang mengatur. Ia mengaku mendapat
banyak bantuan selama mendirikan mushola itu. Kayu bekas-kayu bekas, batu bata,
dan sebagainya datang dari anak murid dan orang-orang yang simpati pada
perjuangannya.
Saat
mushola berdiri, tantangan tak berhenti. Muridnya yang awal-awal ramai
belakangan surut. Bahkan menyisakan belasan saja di waktu saya datang menjadi
muridnya. Sudah itu banyak yang kerap menunggak pembayaran, meski SPP-nya tak
seberapa. Apa mau dikata? Anak-anak muridnya kebanyakan juga orang tidak punya.
Pak Munir tak bisa memaksa. Ia sudah bersyukur masih ada yang mau mengaji
padanya. Lalu bagaimana cara ia membayar listrik bagi musholanya bila banyak
yang menunggak pembayaran? Ah, Tuhan itu ada saja caranya. Terkadang Allah
mencukupkan rejekinya atau ada saja yang datang membayari listriknya.
Apakah
itu saja? Tidak. Masih banyak. Dan semua membekas baik di kepala saya. Yang
pada akhirnya membuat saya bersyukur, hari itu saya tidak membatalkan keinginan
saya mengaji.
Tulisan
ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan”
Subhanallah mak.... semangat yaa... sy jg 26 tahun lg belajar ngaji lagi... baca tajwid yg bener... di kantor tiap minggu ada guru ngaji khusus perempuan sekalian bahas hadits dll... ada loohhh yg umurnya sudah 40an... nggak ada kata terlambat mak... demi bekal akhirat... semangat yaa...
BalasHapusBtw, Pas baca bagian remaja2 tangguh tadi jd merasa ketampar sy mak... sering ngeluh pdhl masih banyak di sekitar kita org yg sedang berjuang hidup tnp lelah...
Btw, follow back yaa mak...
Iya, Mbak Mumu. Waduh, kita kalah jauh soal tangguh. Terima kasih sudah mampir
HapusNikmatnya ya mbak kalau masih dikasih petunjuk Allah dengan jalan apa pun itu. senang bacanya, inspiratif.
BalasHapusha iya, Mbak Wawa. Kadang cara Allah ngasih petunjuk emang gak terduga
HapusGak ada kata terlambat untuk belajar dan kembali belajar. Apalagi ilmu agama. Alhamdulillah ya mba...
BalasHapusBener banget Mbak Haeriah, belaja ilmu agama tak ada kata terlambat. Tinggal mau atau enggak hihi...
HapusSaya juga pernah gerutu begitu waktu ada yg adzan ky gitu, tapi yaa iya sih dipikir lagi, susah juga kali ya sekarang nyari anak muda yg bisa dan mau adzan. Kalo liat yg jamaahan di masjid aja cuma sedikit, pemudanya mah huhu
BalasHapuslha ya itu mbak, makanya hari itu saya merasa nggak enak sendiri. Kok nyalahin yang adzan nah pemudanya aja entah kemana, dan pemuda itu termasuk saya
HapusSepakat sama mba Haeriah ga ada kata terlambat buat belajar :)
BalasHapusha, cocok Mbak Herva.
HapusAku belajar ngaji 6-7 tahun tapi surat pendek gak banyak yg hafal, Mbak. Selama ini berasa cukup aja dengan ilmu yg pernah didapat. Ah, jadi pengen belajar ngaji lagi :'D
BalasHapusMangga, mangga...biasanya pas baru mulai agak gimana gitu tapi ntar oke aja...
HapusHmmm.. Semangatnya Mbak Afin patut diacungkan jempol hehe.. Pengen ikut kayak Mbak..
BalasHapusMelihat mereka, tangguh-tangguh yaa.. Jauh banget sama saya... Hmmm
Ah, Mbak Gustia pasti bisa kok. Tinggal nyari tempat, nyari guru. Dan tentu disesuaikan dengan waktu.
HapusAh, ya mereka tangguh banget, saya pikir kalau saya mereka pasti ndak sanggup
ada loh teman saya yang gak mau shalat di masjid karena menurut teman saya tersebut bacaan imamnya gak sesuai tajwid-nya.
BalasHapussepakat sama semua yang Mba Afi tuliskan, tak ada kata terlambat untuk belajar. bukankah setiap hari kita memang belajar?
terimakasih sudah berpartisipasi di GA saya yah Mba :*
Sama-sama Mbak Ira, terima kasih sudah mampir kemari
HapusIya ya.. Semoga saya juga bisa..
BalasHapusHmmm.. Iya betul Mbak.. Bener-bener tangguh...
amin, insyaAllah bisa. Kadang jalannya suka tak terduga, gitu aja muncul. Barakallah Mbak Gustia
HapusIya ya.. Semoga saya juga bisa..
BalasHapusHmmm.. Iya betul Mbak.. Bener-bener tangguh...
Ah senangnya, memulai kembali yang lama terhenti, melanjutkan apa yang sudah nyaman di hati <3
BalasHapusSalam,
Senya