Agustus, 2014.
Tak ada yang lebih menyenangkan bagi
seorang yang tengah dilanda “kekeringan” ketimbang tawaran pekerjaan. Maklumlah
sebagai penulis saya memang masih taraf belajar. Tulisan saya belum banyak yang
tembus ke media. Beberapa kali jadi finalis atau menang lomba nulis, tak
berarti saya mumpuni. Maka tak heran jika hasil dari menulis jauh dari harapan.
Tak bisa dijadikan pegangan.
Maka wajar jika saya bergembira
ketika karib saya, Endang, mengatakan ada lowongan pekerjaan. Meski pun profesi
yang ditawarkan jauh sekali dari ilmu yang saya pelajari semasa kuliah dulu
yaitu jadi guru SD di sebuah sekolah swasta baru.
“Siapa tahu, Fin. Kenapa tidak
dicoba? Nggak apa-apa meski kamu lulusan Faperta.”
Pertanyaannya kemudian ”Apa saya
mampu? Mengajar tak sekedar mencari uang, didalamnya ada tanggung jawab besar.
Apalagi saya tak memiliki ilmu mengajar”.
Seolah tahu apa yang saya pikirkan,
Endang, sahabat saya itu berkata ,”Coba saja. Tak ada salahnya. Yuk aku antar
ke tempat Mbak Sita (bukan nama sebenarnya). Katanya di sekolah Islam yang dia
rintis ini butuh banyak guru.”
Ah, dia benar juga. Coba saja. Tak
ada salahnya. Lagipula jika saya memiliki pekerjaan, saya bisa memiliki
penghasilan tetap. Sehingga saya tak selalu was-was diliputi pertanyaan “Adakah
uang untuk pergi ke warnet?” setiap kali saya ingin mengirim artikel, cerpen,
atau novel.
Maka hari itu saya diantar ke rumah
Mbak Sita. Saya baru paham beliau itu kakak kelas saya semasa SMP. Beliau
menyilakan saya untuk langsung melamar ke sekolah islami dimana ia ikut
merintisnya. Sembari menjelaskan bahwa disana mereka tidak bisa memberikan gaji
besar, dan lain sebagainya. Jam masuk dan segala macam yang berurusan dengan
sekolah. Mendengar penjelasannya pikiran saya justru melayang ke rumah. Jika
saya melamar dan diterima, otomatis saya akan berada di tempat kerja seharian. Lalu
Ibu saya bagaimana?
Sejak awal tahun 2014 kesehatan Ibu
menurun. Ibu jarang keluar rumah dan lebih banyak berada di kamar sejak rasa
nyeri menyerang tulang-tulangnya. Celekit-celekit, seperti ada beribu jarum
yang menusuk, begitu Ibu menggambarkannya. Serangan nyeri itu bisa datang kapan
saja, dibagian tubuh mana saja dalam waktu yang bersamaan. Saking sakitnya, Ibu
sampai menitikkan air mata. Pijitan tak mampu meredakan rasa nyeri di
tulang-tulangnya itu. Maka untuk meredakannya, saya dan Bapak mengelus-elus kakinya.
Harus sangat lembut, karena terlampau keras justru menyakitinya.
Banyak yang menduga biangnya adalah
asam urat yang tinggi. Tapi hasil pemeriksaan mementahkan dugaan itu. Asam urat
ibu normal. Belakangan kami menyadari itu adalah efek dari penyakit
diabetesnya. Ya, orang dengan penyakit diabetes memang beresiko lebih tinggi
terkena berbagai penyakit tulang dan sendi.
Pulang dari rumah Mbak Sita saya
merenung panjang. Saya butuh uang. Dan pekerjaan itu memberikan jaminan
keuangan meski tidak besar. Tapi, meninggalkan Ibu sendirian rasanya tak tega.
Apalagi di rumah hanya ada Bapak seorang. Bapak, saya yakin bisa mengurus Ibu
sendiri, jika seharian saya bekerja. Tetapi mengurus orang sakit itu
menguras pikiran dan tenaga. Tidak mudah, karena harus mampu mengontrol emosi
dan perasaan. Maka saya pikir, tinggal di rumah dan menulis adalah keputusan
terbaik. Meski hasilnya tak bisa diharapkan, tapi pekerjaan ini memiliki
keunggulan dibanding lainnya. Waktunya fleksibel dan saya pasti ada jika Ibu
membutuhkan saya. Maka tanpa mengurangi rasa hormat pada Endang, yang sudah
bersusah payah mengantar saya menemui Mbak Sita, saya menolak lowongan
pekerjaan itu.
Beberapa bulan kemudian, sekitar Februari
2015, Endang memberi tahu saya ada lowongan pekerjaan selaku tenaga
pendamping pertanian. Yang dibutuhkan adalah S1 Pertanian. Wah, ini dia! Batin saya. Ini sesuai ijazah saya. Saya pikir saya
tak boleh melewatkannya.
Tapi, kemudian saya teringat ibu. Ibu
yang belakangan semakin sering kesakitan. Serangan nyerinya semakin parah dan
intervalnya semakin pendek. Dalam kondisi demikian, Ibu jadi lebih membutuhkan
saya dan Bapak. Jika saya bekerja, Bapak pasti kewalahan mengurusnya. Dengan
pertimbangan itu saya pikir lebih baik tinggal di rumah saja. Fokus dengan Ibu sembari menulis seperti
biasa. Nanti-nantilah jika Ibu sudah lebih baik, saya mencari kerja. Insyaallah
ada. Tak perlu khawatir, bukankah rejeki sudah ada yang mengatur? Pikir saya.
Beberapa waktu kemudian kondisi Ibu
berangsur membaik. Ibu sudah tidak sakit lagi. Ibu sudah sehat dan bisa
jalan-jalan, tidak hanya menghabiskan waktu di ranjang sembari menahan
kesakitan. Saya dan Bapak senang. Saya bahkan mengira Ibu akan membaik
selamanya. Tapi, perkiraan tinggallah perkiraan. Segala sesuatunya Allah yang
menentukan. Disaat saya berpikir demikian, Allah memanggil Ibu pulang pada
tanggal 13 September 2015.
Kabar meninggalnya Ibu mengejutkan
dua adik saya, Wendy dan Wawan. Saya tahu keduanya menyesal karena tak bisa
mendampingi Ibu di saat-saat akhir hidupnya. Saat itulah saya seperti
disadarkan, mengapa saya selalu menolak lowongan pekerjaan yang disodorkan
teman. Rupanya semua itu bukan kebetulan. Allah sudah mengaturnya sedemikian
rupa, sehingga saya bisa menemani Ibu di rentang waktu yang tidak panjang.
Mendadak hati saya diliputi
kesyukuran. Allah telah menghadiahi saya kesempatan untuk dekat dengan Ibu
hingga ajalnya datang.
picture source : https://www.pexels.com
Mbrebes mili bacanya Mbak. Insyaallah, berkah Mbak Afin. Pilihannya adalah pilihan yang terbaik, amin :)
BalasHapusamin, terima kasih Mbak Wahyu. Waduh, saya meh mbrebes juga ini
HapusSubhanallah... :'( speecless ... barakallah... :'(
BalasHapusTerima kasih Mbak Mumu Ahmad
Hapussubhanallah, semoga saya juga diberi kesempatan yang sama, aamiin
BalasHapusamin, semoga Allah memberi berkah itu kepada Mbak. Bisa menemani dan merawat ortu hingga akhir hidupnya
HapusSubhanallah... Semoga Allah beri balasan terindah ya, mbak Afin. Semoga ibu juga mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Amiin. :)
BalasHapusWahhh...jebolan Faperta juga ya. Sama dong. Tapi ijazahnya cuman nganggur di lemari. :D
Amin, terima kasih Mbak Isnaini. Wah, sama dong. Dulu pernah ngantor, cuma terus keluar. Tapi, bidangnya lain hahahah
Hapus:') Tetap semangat aja ya kak. Memang segala sesuatu yang kita jalani, semua telah ada hikmahnya masing-masing.
BalasHapusPenulis? Wew!
Terima kasih Mas Yayan
HapusPilihan tepat mbak Yulia, menemani mereka menua.
BalasHapusSalam,
Syanu.
Insya Allah bahagia memeluk mbak, pas sadar kita udah ngambil pilihan yang tepat, aamiin
BalasHapussalam,
kesya